Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada Kelompok Keberagaman Gender

SR, Surabaya – Salah satu hak dasar yang melekat pada diri manusia yang bersifat universal dan harus dilindungi, dihormati, tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun adalah hak beragama dan berkeyakinan. Hal itu pun telah termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Namun pada faktanya, dalam hal kebebasan beragama dan beribadah, masih ada diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok keberagaman gender.
Perwakilan GUSDURian Surabaya, Haris Teguh mengatakan, pihaknya beberapa kali menerima laporan semacam itu dan mendampingi kasus tersebut.
“Pernah ada laporan di daerah Sidoarjo, ada transpuan muslim yang diusir dari Masjid karena menggunakan mukenah dan berada di shaf perempuan,” ujarnya.
Ia menambahkan, beberapa orang dari keberagaman gender bahkan terpaksa tidak bisa datang ke tempat ibadah karena merasa dikucilkan dan tidak nyaman dengan pandangan jemaat lain tentang dirinya saat orientasi seksual maupun ekspresi gendernya diketahui.
“Ada juga yang ketahuan gay lalu dilarang datang ke Gereja, sampai akhirnya mereka mengadakan kebaktian sendiri. Karena hopeless, ada yang beberapa sampai pindah agama karena dia merasa di sana lebih diterima dan terbuka. Tapi tetap, mereka tidak bisa terbuka dengan orang sekitar kalau mereka sudah pindah agama, termasuk secara administrasinya,” sambung Haris.
Haris menegaskan, sejak awal GUSDURian tidak setuju dengan lesbian, gay, biseksual, transgender, queer (LGBTQ+), namun pihaknya menerima mereka sebagai sesama manusia. Maka dari itu, saat menerima aduan kasus, pihaknya melakukan advokasi dengan cara memberikan informasi, memperkenalkan, hingga mendatangkan pemuka agama yang lebih terbuka dan menerima keberagaman gender untuk memenuhi hak beragama atau berkeyakinan dan hak beribadah mereka.
“Kita diajari oleh guru kita yakni Gus Dur dan Mbak Alissa Wahid untuk memperjuangkan hak-hak kawan-kawan LGBTQ+ sebagai sesama manusia. Kan kasihan, mereka hanya ingin beribadah, ingin bertemu dengan Tuhan, kenapa ribet sekali. Padahal Tuhan itu sangat pribadi,” tegasnya.
Apa yang disampaikan Haris ini dialami oleh Ajeng. Ia memilih pindah agama demi mendapat ketenangan dan kenyamanan dalam beribadah. Ia yang dulunya muslim kini memilih menganut aliran penghayat Sasongko Aji.
“Jadi saya lebih memilih ke penghayat karena itu, semua tergantung hati nurani, jadi saya bisa menikmati mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara ritual penghayat, karena sesuai dengan perjalanan spiritual, secara rasional dan irasionalnya juga diterapkan kesitu, penggambaran alam semesta juga dijelaskan,” imbuh perempuan asal Surabaya ini.
Ia bercerita, momen kepindahannya ini bermula dari proses pencarian jati diri. Dirinya yang saat itu terus bertanya tentang kedekatan spiritualnya dengan Tuhan akhirnya terjawab setelah memeluk aliran Sasongko Aji. Di sana ia merasa lebih nyaman dan diterima dengan keberagaman gendernya.
“Perbedaan yang pasti kenyamanan, karena ibadah itu kan intinya nyaman. Nah dari yang tadinya di muslim ke penghayat itu saya menemukan ternyata jati diri saya itu lebih nyaman ke penghayat karena sistem kebhinekaannya diterapkan di sana,” tuturnya.
Meski sempat mengalami penolakan dari keluarga, namun Ajeng dengan sabar melakukan pendekatan dan pengertian bahwa tidak ada yang berubah dari sikapnya. Dia tetap akan menjadi anak yang menghormati dan berbakti pada orang tua.
“Sempat juga mengalami pergolakan batin, tapi saya pendekatan sama keluarga khususnya ke orang tua. Awalnya memang agak susah, karena orang tua ingin anaknya itu sholehah tapi makin kesini makin bisa menerima, cuma keluarga besar yang masih menganggap saya ikut perdukunan,” ungkapnya.
Berbeda dengan Ajeng, Krisna (nama samaran) sampai sekarang belum bisa mengungkapkan orientasi seksual maupun perpindahan agamanya secara terang-terangan di keluarganya. Ia lebih memilih menyisipkan pemahaman-pemahaman tentang perbedaan agar keluarganya menjadi lebih toleran.
“Saya tidak mendeklarasikan kepindahan agama ke keluarga, tapi memang mereka mulai membaca karena saya sudah tidak melakukan ibadah Islam lagi, tapi memberi pengertian pelan-pelan kalau walaupun kita sekeluarga tapi urusan Tuhan itu masing-masing,” jelasnya.
“Saya juga memberi pengertian tentang penerimaan dalam perbedaan, dan itu prosesnya sampai sekarang belum selesai,” sambung Krisna.
Ia menjelaskan, sebagai orang yang sejak kecil hidup di lingkungan yang kental dengan Islam, tentu sulit bagi keluarga untuk menerima pilihannya pindah ke Kristen. Karena itu, ia lebih menunjukan bahwa meski berbeda, orang bisa berdampak baik dan bermanfaat bagi orang lain.
“Jujur saja orang tua saya masih agak sedikit kolot, belum terbuka dengan pemikiran seperti itu. Keluarga saya Muhammadiyah, makanya saya sisipi terus. Di rumah saya pasang quote-quote Gus Dur tentang perbedaan, jadi kalau dulu waktu acara tv ada kegiatan nonmuslim orang tua selalu kurang suka, sekarang sudah beda,” katanya.
Ia mengaku, keputusannya untuk memeluk agam Kristen telah melalui proses yang panjang. Dulunya, Krisna merupakan Pemuda Muhammadiyah yang rajin ikut kegiatan masjid, namun suatu ketika dirinya bermimpi bertemu dengan Yesus.
Sejak saat itu, ia mulai belajar tentang garis sejarah antara Kristen dan Islam, berdiskusi dengan rekannya hingga pada 2010 memantapkan diri untuk sepenuhnya memeluk agama Kristen.
“Nah mimpi saya itu, saya seperti masuk ke bangunan masjid tapi di depan daerah imam itu ada salib, dan salibnya itu ada Yesus nya, dan Yesusnya itu bangun dan tangannya ke kepala saya. Dan saya juga berdoa apakah ini kalau memang jalannya minta dilancarkan, dan ternyata sampai sekarang dilancarkan,” kata Krisna.
Terkait kenyamanan beribadah, ia merasa baik di agamanya yang sekarang maupun sebelumnya. Tidak banyak berbeda. Hanya saja karena ia mendapat pengalaman spiritual maka ia lebih merasa nyaman sekarang.
“Secara spiritual kan kita sudah lebih klop ke agama yang sekarang jadi ketika beribadah memang ada perbedaan, tapi disisi lain saya juga belajar, nah akhirnya menemukan kesamaan dari Islam dan Kristen yang sekarang,” ucapnya.
Dengan kondisinya yang sekarang pun, ia yang aktif dalam pelayanan terus memberi pengertian tentang toleransi dalam perbedaan ke orang sekitarnya.
Tampilkan SemuaTags: GUSDURian Surabaya, HAM, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Keberagaman Gender, LGBTQ+, Pindah agama, Transpuan
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.