Pemilu 2024, Masih Tak Ramah bagi Pemilih dengan Disabilitas

SR, Surabaya – Bicara soal Pemilu, pasti tak lepas dari partisipasi masyarakat. Di gelaran pesta demokrasi itu semua kalangan punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih, termasuk orang dengan disabilitas tuli. Khusus soal hak memilih, masih ada beberapa persoalan yang sama dan terjadi hingga saat ini.
Ketua Tim Bisindo dan Aksesibilitas (TIBA) Ika Wirawan mengatakan, sejak pertama kali memberikan hak pilihnya untuk Pemilu hingga sekarang, tidak ada kemajuan sedikitpun. “Dari dulu sampai sekarang gak meningkat pelayanannya. Gak ada sosialisasi sama sekali, di TPS (tempat pemungutan suara) juga sama, petugasnya kurang tanggap,” ujar pria yang akrab disapa Wawan ini.
Dia pernah hampir melewatkan giliran ke bilik suara pada pemilihan sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena penyelenggara pemilu tidak menyediakan petugas dan TPS yang ramah disabilitas. “Gak ada yang bantu, padahal harusnya ada juga (informasi) apalagi untuk tuli. Harusnya informasi nomor antrian bukan cuma diomongkan saja tapi ada tulisannya karena tuli butuh itu,” ungkapnya.
Wawan berharap, ke depan Pemilu bisa lebih baik lagi dan disabilitas lebih dilibatkan pada seluruh proses Pemilu. Terlebih hak politik penyandang disabilitas telah dijamin pada pasal 13 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Selain diperkenankan menggunakan hak pilih dan dipilih, undang-undang itu juga memastikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilu hingga pemilihan kepala desa.
Penyandang disabilitas tuli lainnya, Sri Andiani juga tidak mendapatkan informasi terkait apa yang harus dilakukannya saat pertama kali ikut pemilu. Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Surabaya ini juga tidak bisa membedakan bagaimana surat suara yang sah dan tidak sah.
“Harapannya, harus ada informasi tentang prosedur pencoblosan harusnya seperti apa. Termasuk cara coblos yang sah dan tidak,” katanya.
Perempuan yang akrab disapa Dian ini berharap ada juru bahasa isyarat (JBI) di TPS. Selama ini, metode komunikasi yang dipakai adalah dengan menggunakan tulisan. “Jadi petugas menjelaskan prosedur atau tahapannya di TPS ditulis di kertas. Atau kalau dia datang bersama teman atau keluarga, maka mereka yang akan menjelaskan kembali prosedurnya seperti apa,” jelasnya.
Untuk mendapatkan informasi terkait pemilu, Dian lebih suka memantau media sosial milik individu yang khusus menyebarkan informasi tentang seputar pemilu ke anak muda. Dia sempat masuk ke kanal YouTube Komisi Pemilihan Umum, namun durasi video yang panjang membuatnya tidak melanjutkan menonton. “Saya lebih banyak mendapatkan informasi justru di luar akun KPU,” tegas perempuan kelahiran 1995 ini.
Dian juga melayangkan kritiknya terhadap media sosial penyelenggara pemilu. Menurut dia, harus ada rangkuman terkait visi misi dari peserta pemilu. “Selama ini saya kan lebih mendapatkan dari pihak ketiga. Intinya saya butuh yang to the point dari rangkaian proses Pemilu,” kata Dian seraya menambahkan pihak ketiga adalah pembuat konten di media sosial.
Pengalaman Wawan dan Dian ini membuktikan ketiadaan perbaikan terkait penyelenggaraan pemilu, setidaknya bagi pemilih dengan disabilitas tuli. Ketiadaan sosialisasi yang sesuai bagi mereka itu sudah berlangsung sejak proses awal pendataan pemilih hingga ujungnya kebingungan dan kesulitan komunikasi di TPS.
Tampilkan SemuaTags: disabilitas, Hak pilih, Hak Politik, Pemilih dengan Disabilitas, Pemilu 2024
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.