Pengungsi Syiah Sampang Tagih Janji Presiden dan Keberpihakan Negara

Yovie Wicaksono - 22 March 2017
Suasana diskusi pada Acara 5 Tahun Refleksi Perjalanan Advokasi Pengungsi Syiah Sampang (foto : Superradio/Srilambang)

SR, Surabaya – Ratusan orang mengucapkan deklarasi untuk mendukung upaya pemulangan warga Syiah Sampang ke kampung halamannya, setelah 5 tahun terusir dan menjadi pengungsi di rumah susun Jemundo, Sidoarjo.

Acara Refleksi 5 Tahun Perjalaan Advokasi Syiah Sampang di Surabaya, Selasa (21/3/2017) malam, dihadiri berbagai elemen atau organisasi masyarakat, seperti Kontras Surabaya, AMAN Indonesia, ABI Jawa Timur, kelompok dari lintas agama, serta warga Syiah Sampang yang menjadi pengungsi.

Pemimpin warga Syiah Sampang, Tajul Muluk mengatakan, dirinya bersama 300 lebih warga pengungsi Syiah Sampang sangat menginginkan pulang ke kampung halamannya, pasca kerusuhan dan pembakaran pemukiman warga Syiah di Omben, Sampang, 2011 yang lalu. Tajul berharap pemerintah segera mencarikan solusi pemulangan mereka ke kampung halaman.

“Berharap tahun ini sudah bisa diselesaikan, karena kami khawatir nanti kalau sudah ada perubahan rezim justru akan semakin buruk kondisi kami, dan akan semakin sulit upaya-upaya pemulangan itu,” kata Tajul Muluk.

Tajul Muluk berharap dapat bertemu Presiden Joko Widodo, agar memperhatikan dan memberikan solusi penyelesaian masalah yang dihadapi warga Syiah Sampang.

Pengungsi Syiah Sampang, kata Tajul Muluk, mengharapkan ada pemulangan yang damai dan aman, yang diawali dengan dialog yang berkeadilan, serta berlandaskan semangat persaudaraan dan kerukunan.

“Kami tetap mau bekerjasama dengan siapa pun sebetulnya, yang tujuannya sama, yang tujuannya untuk kedamaian, untuk kerukunan di antara anak bangsa ini, karena bangsa ini kan memang perlu kerukunan,” ujarnya,.

Tajul bahkan berencana untuk bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo, agar segera menyelesaikan persoalan warga yang sampai sekarang masih tinggal di pengungsian. Sampai saat ini kehidupan warga Syiah Sampang di pengungsian rumah susun Jemundo, tidak lebih baik dari kehidupan di kampung halaman sendiri. Bahkan banyak hak dasar pengungsi yang merupakan warga negara tidak terpenuhi, serta masih sering mendapat intimidasi dan stempel sesat dari kelompok masyarakat lain.

”Kami ada rencana ke Presiden Jokowi, dan kemarin sebetulnya juga sudah menghadap ke KSP (Kantor Staf Presiden), menyampaikan tuntutan-tuntutan kami, tapi ya belum ada respon,” imbuhnya.

Ketua Badan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Andy Irfan Junaidi mengungkapkan, penanganan pemerintah terhadap pengungsi Syiah Sampang masih belum memenuhi harapan penyintas, terutama belum adanya skema rekonsiliasi, pemulangan serta pemulihan hak-hak warga yang tercerabut dari akarnya.

“Kita mendesak agar negara mengaplikasikan tanggungjawabnya, kewajibannya untuk memulangkan dan memulihkan seluruh hak warga Syiah Sampang, yang sampai sekarang masih di pengungsian,” kata Andy Irfan.

Negara tidak bisa hanya sekedar memberikan fasilitas jatah hidup dan penginapan saja, yang sifatnya sementara. Namun perlu tanggungjawab negara dan pemerintah untuk memulihkan hak warga Syiah Sampang yang hilang.

“Tidak cukup dengan memberikan tempat tinggal sementara dan uang jatah hidup, namun negara harus bisa memulangkan mereka ke kampung halaman. Jangan sampai pejabatnya berkomentar bahwa warga Syiah harus menyelesaikan masalahnya sendiri, itu kan cara berpikir yang sesat dan menyesatkan, tidak bisa begitu,” lanjut Andy Irfan.

Ruby Cholifah selaku Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia mengatakan, pemerintah harus menjadikan kasus intoleransi ini sebagai isu penting nasional, untuk segera ditangani secara tegas sesuai amanat konstitusi. Pentingnya penanganan kasus ini harus sama dengan penanganan kasus illegal fishing, korupsi, maupun terorisme.

“Nah sekarang perlu dicoba, dengan persoalan-persoalan intoleran itu bisa gak diperlakukan seperti illegal fishing, atau korupsi, atau yang terkait dengan terorisme. Nah sekarang tinggal mindset-nya saja, bisa gak negara kita memperlakukan persoalan intoleransi ini segenting persoalan illegal fishing, atau terorisme, ya harus bisa dong,” jabar Ruby.

Negara harus mampu menjadikan alat penegakan hukumnya seperti TNI dan Polri, untuk mewujudkan keadilan dan keamanan bagi masyarakatnya, yang selama ini hak-haknya tidak terpenuhi seperti warga yang lain.

“Pemerintah dapat melibatkan alat hukum negara, untuk menjamin kesamaan hak telah diterima oleh setiap warga negaranya, termasuk menindak sikap-sikap maupun tindakan intoleran,” tandasnya.

Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori menegaskan, setiap warga negara memiliki kebebasan dan kemerdekaan memeluk agama serta beribadat sesuai kayakinannya. Undang-undang atau hukum yang melindungi itu harus dapat diberlakukan pada siapa saja yang terlanggar haknya oleh negara maupun kelompok lain.

“Meski pun toh mereka memilih untuk menjadi Syiah atau menjadi Ahmadiyah, atau menjadi apa pun, sesungguhnya konstitusi sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi mereka untuk menganut apa yang mereka percayai,” kata Aaan Anshori.

Negara kata Aan, bertugas memastikan setiap warga negara dapat beribadah dan menjalankan keyakinannya dengan merdeka atas dasar Undang-undang.

Tinggal Jokowi yang punya kewenangan dan kewajiban, untuk memastikan hak warga negaranya terpenuhi. Kita harus tuntut terus supaya para pengungsi ini mendapatkan hak-haknya,” pungkas Aan.(ptr/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.