5 Fakta Tradisi Nyadran

SR, Surabaya – Salah satu tradisi unik dalam budaya Jawa adalah nyadran. Nyadran merupakan budaya yang dilaksanakan untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal. Tradisi ini juga memiliki arti sebagai pembersihan diri menyambut hari suci.
Hingga saat ini, nyadran masih menjadi aktivitas rutin bagi masyarakat di Pulau Jawa. Berikut 5 fakta lain tentang tradisi nyadran.
1. Sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha
Tradisi nyadran sudah berkembang di Indonesia sejak masa Hindu Buddha. Namun, saat itu nyadran dikenal dengan istilah shraddha, yang bermakna keyakinan (iman).
Shraddha dilakukan untuk menghormati arwah nenek moyang masing-masing, serta mensyukuri kelimpahan air dan alam. Pelaksanaan shraddha dilakukan sesuai dengan tanggal kematian seseorang yang akan didoakan.
2. Merupakan akulturasi budaya Jawa dan agama Islam
Setelah Islam masuk ke Indonesia, Wali Songo selalu berupaya menyebarkan agama Islam dengan memasukkan ajaran agama ke budaya yang telah ada. Hal ini membuat ajarannya lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Itulah mengapa budaya shraddha kemudian diubah menjadi nyadran, dan dikembangkan sesuai ajaran agama Islam sedikit demi sedikit. Perbedaan yang nampak terletak pada prosesi yang dilaksanakan, juga waktu pelaksanaannya. Kini nyadran dilakukan sesaat sebelum Ramadan.
3. Kini dilakukan dengan mengunjungi dan membersihkan makam
Tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi dan membersihkan makam leluhur, pada bulan sya’ban (kalender hijriyah) atau ruwah (kalender Jawa). Sehingga, tradisi nyadran juga kerap kali dikenal dengan nama tradisi ruwahan.
Membersihkan makam merupakan simbol pembersihan diri menjelang bulan suci. Namun, tidak hanya hubungan manusia dengan pencipta, tetapi nyadran juga dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur.
4. Diikuti dengan rangkaian kegiatan lain guna mempererat hubungan bermasyarakat
Tak hanya membersihkan makam, berikut rangkaian lengkap kegiatan nyadran yang penting untuk dilaksanakan.
Besik: Pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Biasa kegiatan ini dilakukan dengan gotong royong bersama keluarga dan seluruh masyarakat.
Kirab: Setelah selesai besik, rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan prosesi kirab. Kirab merupakan arak-arakan peserta nyadran menuju tempat nyadran dilaksanakan.
Ujub: merupakan sesi penyampaian tujuan atau maksud dari rangkaian upacara adat nyadran oleh pemangku adat.
Doa: dilanjutkan dengan prosesi doa bersama yang ditujukan untuk para leluhur dan dipimpin oleh pemangku adat.
Kenduri/Kembul Bujono: Makan bersama seluruh masyarakat yang terlibat dalam tradisi ini. Setiap keluarga yang mengikuti kembul bujono harus membawa makanan tradisional sendiri seperti sambal goreng ati, urap sayur, tahu bacem dan lain sebagainya.
Sebelum makan bersama, makanan yang dibawa oleh masyarakat terlebih dahulu dikumpulkan dan ditukar. Rangkaian inilah yang kemudian berhasil membuat kehidupan bertetangga lebih akrab satu dengan yang lainnya.
5. Punya ciri khas berbeda di setiap daerah
Setiap daerah memiliki cara yang berbeda dalam melaksanakan tradisi nyadran. Pada beberapa daerah, masyarakat akan membawa hasil bumi atau sadranan, untuk kemudian diletakkan di makam. Setelahnya, mereka juga akan meninggalkan uang untuk biaya pengelolaan makam, kemudian melakukan doa bersama.
Sedikit berbeda, masyarakat Magelang datang ke makam tanpa membawa sadranan, sesi doa bersama pun dilaksanakan sehari setelah pembersihan makam dilaksanakan. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi ciri khas beberapa daerah tertentu. (*/vi/red)
Tags: budaya, Fakta Tradisi Nyadran, nyadran, tradisi
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.