Penegakan Demokrasi dan HAM di Jatim Masih Dipertanyakan

Yovie Wicaksono - 27 April 2017

SR, Surabaya – Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) di Indonesia, menegaskan komitmennya untuk mendukung proses demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya di Jawa Timur.

Hal ini disampaikan Direktur Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) di Indonesia, Erin McKee saat menghadiri diskusi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Rabu (26/4/2017).

Melalui Program eMpowering Access to Justice (MAJu), USAID bersama sejumlah aktivis dan lembaga yang bergerak dibidang hak asasi manusia, akan mendukung upaya penegakan gak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, serta keberagaman di Indonesia.

“Itulah yang dinamakan keindahan dari demokrasi, pekerjaan dan masalah tersebut tidak akan pernah selesai, tantangan untuk memastikan bahwa suara kita akan didengarkan. Dan oleh karena itu pemerintah Amerika Serikat termasuk melalui USAID mendorong program eMpowering Access to Justice (MAJu) ini, untuk memastikan bahwa suara masyarakat dapat didengarkan dan akses keadilan dapat diperoleh,” terang Erin.

Senada dengan Erin, Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Heather Variava memastikan dukungan Pemerintah Amerika Serikat untuk mewujudkan iklim demokrasi yang baik di Indonesia. Selain itu, Heather juga berharap keadilan sosial dapat dirasakan oleh masyarakat kecil, termasuk di Jawa Timur yang menjadi salah satu wilayah kerja Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya.

“Kerjasama antara Amerika Serikat dan Indonesia di tingkat demokrasi, pluralism, access to justice, itu sangat penting, karena kami adalah dua negara demokrasi yang sangat besar di dunia. Dan kami ingin berperan besar untuk memajukan dan mendukung demokrasi, pluralism dan lainnya, baik ditingkat pemerintah maupun di tingkat masyarakat,” ujar Heather.

Dalam diskusi berkala, USAID mendengarkan berbagai persoalan terkait hak asasi manusia, kesetaraan gender, hak buruh dan perempuan, kelompok keyakinan dan minoritas, serta masyarakat miskin dan pejuang lingkungan. Hal ini tidak lepas dari status Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tertinggi.

Terkait kasus kekerasan berlatarbelakang agama dan keyakinan, serta diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dosen sekaligus pakar Radikalisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi mengatakan, Jawa Timur merupakan daerah dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tinggi.

Kasus kekerasan berlatarbelakang agama atau keyakinan dapat berlangsung tanpa halangan, karena ada regulasi yang menguatkan aksi kekerasan maupun diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu atau kaum minoritas.

“Yang pertama adalah, SK Gubernur mengenai Pelarangan Jamaah Ahmadiah. Yang kedua adalah Pergub tentang Aliran Sesat, dimana menjadikan MUI, fatwa MUI sebagai rujukan bahwa kalau ada komunitas yang difatwa oleh MUI sebagai sesat, maka negara akan menganggap itu  sebagai sesat. Dan itu di Jawa Timur dipayungi oleh regulasi dalam bentuk Pergub. Dan yang ketiga, sampai sekarang kasus Syiah Sampang itu tidak jelas bagaimana penyelesaiannya,” tutur Ahmad Zainul Hamdi, atau akrab disapa Inung.

Sampai saat ini, penyelesaian perosalan terkait hak asasi manusia masih belum tuntas, terlebih dengan adanya peraturan atau legalitas yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kelompok mayarakat minoritas yang menjadi korban seperti warga Syiah Sampang, terpaksa harus terusir dari kampung halamannya.

“Kasus Syiah Sampang itu bukti tidak adanya itikad baik pemerintah untuk menyelesaikannya, bahkan menguatkan tindakan kelompok yang kontra terhadap warga Syiah, maupun kelompok minoritas lainnya seperti Ahmadiyah,” lanjut Inung.

Selain itu, kasus kekerasan terhadap perempuan juga menjadi persoalan serius yang terjadi di Jawa Timur. Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Jawa, Timur Wiwik Afifahmengatakan, masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang sampai saat ini belum tertangani dengan baik.

“Problem di masyarakat, rata-rata kekerasan dalam rumah tangga meskipun dalam budaya yang terbuka di Jawa Timur, banyak yang juga tidak dilaporkan, katanya tabu, kemudian takut diancam balik, kemudian berbiaya mahal,” kata Wiwik.

Saat ini diakui sudah ada layanan psikologi gratis, yang diberikan kepada korban kekerasan maupun pelecehan. Namun masyarakat masih harus mengeluarkan biaya sendiri untuk menuju tempat pelaporan atau pengaduan.

“Memang disediakan gratis, untuk layanan psikologinya, atau visumnya gratis. Tetapi dari rumah ke kantor polisi, itu dia masih harus mengeluarkan biaya, apalagi yang berada di desa,” imbuhnya.

Penguatan kapasitas perempuan kata Wiwil, perlu terus dilakukan, agar pengetahuan perempuan semakin meningkat, termasuk untuk berani melakukan pelaporan atas kejahatan yang dialami perempuan.(ptr/red)

Tags: , , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.