“Mencintai Munir” adalah Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Yovie Wicaksono - 29 November 2022
Diskusi dan Bedah Buku Mencintai Munir di Surabaya, Senin (28/11/2022) sore. Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

SR, Surabaya – Suciwati, istri mendiang Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang tewas diracun pada 7 September 2004 dalam pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam, Belanda ini masih mengingat betul ketika Munir bertanya padanya saat akan membuat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

“Dia bertanya bagaimana pendapat saya kalau membuat KontraS yang lawannya tentu militer dan orang-orang berjabatan tinggi. Mendengar itu, lalu saya bertanya ‘apa sih risiko tertinggi orang hidup?’ dia pun menjawab ‘mati’,” kisah Suciwati dalam Diskusi dan Bedah Buku Mencintai Munir di Surabaya, Senin (28/11/2022) sore.

“Saya bilang, kalau risiko orang hidup itu mati, mau ngapa-ngapain ya bakal mati juga. Berjuang melakukan sesuatu yang berguna mati juga. Kalau ‘jalan sunyi’ itu adalah pilihanmu, aku selalu mendukungmu,” sambungnya.

Suciwati juga selalu mengingat saat Munir memeluknya dan kedua anaknya sehari sebelum berangkat ke Amsterdam sambil berkata “Saya sudah menemukan surga saya”, serta kalimat “cintamu mengiringi perjalananku,” yang diucapkan Munir pada 6 September 2004 sebelum naik pesawat.

Bagi Suciwati, Munir adalah sosok suami sekaligus ayah dari anak-anaknya yang romantis, hangat dan sederhana disamping sikapnya yang berani dalam memperjuangkan kasus pelanggaran HAM dengan segala risikonya.

Hal-hal itulah yang dikisahkan Suciwati dalam buku “Mencintai Munir” yang dirilis bertepatan dengan peringatan 18 tahun meninggalnya Munir.

Dalam proses penulisan buku tersebut, Suciwati mengaku mengalami banyak tantangan, terlebih untuk mengatasi kesedihan, kehilangan, dan ketidakadilan yang dirasakansetiap kali menjemput ingatan dan kenangan untuk menyambung bab demi bab.

Meski begitu, Suciwati mendorong dirinya sendiri untuk bisa menyelesaikan 10 lembar halaman setiap satu minggu. Hingga akhirnya ia bisa menuntaskan halaman terakhirnya dalam kurun waktu 10 bulan.

“Dalam proses pembuatannya, beberapa kali saya berhenti karena harus menjemput ingatan dan ruang kesakitan saya saat menulis. Butuh perjuangan yang luar biasa. Tapi karena support sistem yang luar biasa, akhirnya saya bisa menyelesaikan buku ini,” ujarnya.

Keputusan Suciwati untuk menulis tak lepas dari keinginan menghadirkan sebuah buku yang membawa pembaca lebih dekat dengan Munir sekaligus merawat ingatan tentang sosok Munir dan perjuangannya yang membuatnya terbunuh. Selain itu juga mewujudkan keinginan Munir yang belum sempat tercapai, yakni menulis buku.

“Buku ini saya dedikasikan kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat dan anak muda untuk merawat ingatan bahwa ada bagian kelam dalam sejarah bangkitnya demokrasi di Indonesia, dimana seorang aktivis HAM yang sederhana namun berani, diracun sampai mati di dalam pesawat Garuda menuju Belanda. Tapi mereka yang berkuasa dari demokrasi yang ikut diperjuangkan si aktivis bahkan menolak untuk mengingat pembunuhan politik itu,” tegasnya.

Baginya, mencintai Munir sama halnya dengan memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang tanpa lelah telah diperjuangkan Munir semasa hidupnya.

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah yang turut hadir dalam kegiatan tersebut mengatakan, kehadiran buku Mencintai Munir ini sangatlah penting untuk edukasi HAM bagi banyak pihak. Bagaimana Munir berani mengungkap kebenaran secara konsisten, yang tak banyak dijumpai pada orang lain.

“Benar bahwa Cak Munir ini ada dan berlipat ganda, artinya akan tumbuh Munir-munir lainnya dengan konteks dan perjuangan yang berbeda,” sambungnya.

Salah satu jurnalis yang turut mengikuti perkembangan kasus Munir, Naufal Widi menambahkan, buku dengan tebal 372 halaman ini ditulis dengan gaya bertutur dan bahasa yang ringan membuat siapapun yang membaca takkan merasa bosan.

“Buku ini luar biasa, ditulis dengan gaya bertutur seolah Mbak Suci sedang ngobrol sama Cak Munir. Sekali baca saya tidak terasa sudah berapa halaman. Memang saya tidak pernah bertemu Cak Munir karena saya baru terjun di jurnalistik tahun 2006. Tapi melalui buku ini, saya bisa mengenal sosok Munir lebih dekat dibalik sifatnya yang berani dalam memperjuangkan HAM,” pungkasnya. (fos/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.