Cegah Penyebaran Bibit Intoleransi di Sekolah dan Masyarakat

SR, Surabaya – Pemerintah didorong untuk menegakkan hukum, atas munculnya kasus intoleransi dan radikalisme berlatarbelakang agama. Penegakan hukum merupakan langkah yang tepat untuk mencegah aksi serupa terjadi di tempat lain.
Koordinator Jaringan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Daerah Istimewa Yogyakarta, Agnes Dwi Rusjiati, saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Surabaya, Minggu (22/1/2017), di Margasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Surabaya.
Agnes mendesak pemerintah melindungi setiap warga negaranya dari tindakan intoleransi dan radikal, yang dilakukan kelompok tertentu atas nama agama maupun kesukuan. Tindakan intoleransi minim tindakan hukum, sehingga semakin berkembang dan menyasar sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lain.
“Tidakan intoleransi itu tidak disertai dengan penegakan hukum, yang kemudian membuat kelompok-kelompok ini seolah-olah dibanarkan oleh tindakan-tindakan mereka, karena tidak ada hukum yang memprosesnya. Itu kemudian ditiru oleh kelompok-kelompok yang hampir sama atau sejenis di banyak tempat,” papar Agnes.
Tidak hanya kelompok berbeda agama yang dijadikan sasaran, tapi juga masayarakat yang berbeda pandangan, dilakukan tindakan intoleransi seperti menyebut kafir, komunis, dan aksi kekerasan lainnya.
Agnes mengatakan, persoalan intoleransi tidak hanya terjadi di tengah-tengah masyarakat, tapi juga di birokrasi atau pemerintahan daerah, melalui produk peraturan daerah yang sepertinya melegalkan aksi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
“Pelaku intoleransi itu biasanya ormas, tapi sekarang justru orang-orang yang ada di birokrasi, yang melahirkan kebijakan-kebijakan diskriminasi. Misalkan larangan-larangan terhadap kelompok-kelompok minoritas beraktivitas, atau juga tidak mengeluarkan izin bagi rumah ibadah kelompok minoritas,” ungkap Agnes yang menyebut intoleransi sudah berwujud kekuatan hukum.
Pada diskusi yang diikuti berbagai elemen lintas agama ini, Agnes mendorong agar kelompok masyarakat yang peduli dengan keberagaman, kerukunan, toleransi, dan kebhinnekaan, berani berbicara dan menyuarakan pentingnya menjaga Indonesia tetap rukun dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
“Selama ini mereka tidak berani bicara, yang seringkali bicara kan kelompok yang pro dengan intoleransi, yang dia kuat berbicara soal anti-keberagaman. Masyarakat pro-toleransi dan keberagaman harus sering ngomong,” terang Agnes.
Persoalan intoleransi dan berkembangnya bibit radikalisme di kalangan generasi muda, juga terjadi di lingkungan pendidikan. Lembaga pendidikan negeri maupun swasta ditemukan ada yang menerapkan aturan diskriminasi pada kelompok tertentu.
Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori mengatakan, temuan kasus pemaksaan pemakaian jilbab oleh guru kepada siswi muslim di sekolah negeri, merupakan pertanda masuknya bibit intoleransi melalui lembaga pendidikan. Siswi yang tidak berjilbab, disebut keimanan dan keislamannya kurang.
“Bagi saya ini cukup mengerikan, bahwa mau berjilbab atau tidak berjilbab maka seseorang tidak boleh dipaksa. Artinya jilbab adalah pilihan bukan pemaksaan. Nah yang terjadi di sekolah tersebut adalah menurut saya pemaksaan, itu tidak bagus untuk demokrasi,” ujar Aan Anshori.
Sementara itu Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Masduki Toha menegaskan, sekolah atau guru terutama di sekolah negeri, tidak diperbolehkan memaksa muridnya memakai busana muslim tanpa kesadaran sendiri.
“Guru-guru agama pun tidak bisa, terutama sekolah negeri ya seumpama, tidak bisa mewajibkan anak-anaknya yang muslim harus berjilbab. Ini justru menimbulkan intoleran dan radikalisme sebenarnya,” kata Masduki Toha, yang meminta guru memakai cara dakwah untuk mengajak, dan mengutamakan mengajar daripada memaksakan sebuah aturan kepada murid.(ptr/red)
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.