Aktivis-Akademisi Ajak Gen-Z Awasi RUU POLRI, TNI, dan Kejaksaan

Rudy Hartono - 28 February 2025
Nara sumber (kiri ke kanan) Peneliti BRIN Muhamad Haripin, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Hj Titik Triwulan Tutik MH, Direktur De Jure/Anggota Komisi Kejaksaan RI 2019-2023 Bathara Ibnu Reza PhD, Direktur riset De Jure/ekpert world justice project untuk Indonesia Erwin Natosmal Oemar, dan Ardi Manto Adiputra, di Auditorium UINSA, Surabaya, Kamis (27/2/2025) (foto:hamidiah kurnia/superradio.id)

SR, Surabaya – Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) Surabaya bersama De Jure menggelar diskusi publik terkait rencana revisi undang-undang (RUU) TNI, Polri, dan Kejaksaan di Auditorium Fakultas Syariah dan Hukum UINSA Surabaya, Kamis (27/2/2025).

Bertema “Memperluas Kewenangan vs Memperkuat Pengawasan (Kritik RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan” giat tersebut membangun kesadaran politik serta pemikiran kritis para mahasiswa. Nara sumber yang dihadirkan: Peneliti BRIN Muhamad Haripin, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Hj Titik Triwulan Tutik MH , Direktur De Jure/Anggota Komisi Kejaksaan RI 2019-2023 Bathara Ibnu Reza PhD , Direktur riset Dejure /ekpert world justice project untuk Indonesia Erwin Natosmal Oemar, dan Ardi Manto Adiputra.

Diskusi tema “Memperluas Kewenangan vs Memperkuat Pengawasan (Kritik RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan”di Auditorium UINSA, Surabaya, Kamis (27/2/2025) (foto:hamidiah kurnia/superradio.id)

“Tiga RUU ini (Polri, TNI, dan Kejaksaan –Red)  berkaitan penting dengan isu di lembaga kami De Jure. Kami ajak masyarakat sipil untuk mendorong reformasi hukum, berkaitan dengan itu,” kata Direktur Riset Dejure Erwin Natosmal Oemar.

Menurutnya hal itu penting sebab perancangan tiga RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas DPR 2025 tersebut sangat mengkhawatirkan.  Tiap pasal yang diajukan sangat berpotensi memperluas kewenangan dan ketimpangan penegakan hukum.

Erwin mencontohkan pada renana revisi RUU Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021, bahwa kejaksaan berpotensi menjadi  lembaga yang terlalu superior dan rawan disalahgunakan. Salah satunya adad ala draft pada pasal penyadapan, pemulihan aset, hingga kewenangan intelejen.

“Harusnya Kejaksaan punya peran penting untuk reformasi Indonesia tapi pada situasi riil nya di lapangan terdapat penambahan kewenangan Kejaksaan yang tidak mencerminkan kebutuhan atau realitas di masyarakat,” sebutnya.

“Tuntutannya itu problemnya kita lihat di indeks itu KUHAP kita belum memenuhi standar HAM, itu tidak tercermin dalam RUU yang diusulkan,” tuturnya.

Hal serupa disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prof  Titik. Menurutnya, RUU yang diusulkan berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan antarpenegakan hukum.

Misalkan pada RUU TNI pasal 47 yang sebelumnya membatasi prajurit TNI aktif hanya pada 10 kementerian/lembaga, kini diusulkan diperluas dengan frasa serta kementerian/lembaga yang membutuhkan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.

Pasal tersebut berpotensi memunculkan Dwifungsi ABRI yang sempat terjadi di era orde baru. “Overview kembalinya dwifungsi ABRI, bisa terjadi isu peradilan militer dan penumpukan personel di TNI,” jelasnya.

Sementara itu salah satu peserta diskusi, Aprizal Semeter 6, turut mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya acara ini membuka matanya atas carut marutnya RUU yang dirancang.

Ia pun mengaku termotivasi untuk makin aktif menyuarakan keresahan yang terjadi di Indonesia. Baik lewat aksi maupun petisi. “Setelah ini kan kami tahu dan akan kami kaji dan kami ajak rekan supaya lebih paham entah akan kita pakai aksi atau surat petisi mungkin bisa dilakukan,” pungkasnya.  (hk/red)

Tags: , , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.