Uskup Didik Memimpikan Suatu Hari Imam Katolik dari Komunitas Difabel

Rudy Hartono - 2 May 2025
Uskup Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo atau akrab disapa Uskup Didik memberikan berkat kepada Umat Difabel pada Misa Yubileum di Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya, Kamis (1/5/2025) . (foto:niken oktavia/superradio.id)

SR, Surabaya – Dalam benak banyak orang, menjadi difabel sering kali disamakan dengan keterbatasan. Namun di Keuskupan Surabaya, stigma negatif itu pelan-pelan memudar. Di antara barisan umat, hadir mereka yang mendengar dengan mata, dan melihat dengan telinga. Mereka adalah umat Katolik difabel, yang hari ini dirangkul dan diberi tempat setara dalam peziarahan harapan melalui misa Yubileum, Kamis (1/5/2025) di Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya.

“Saya sadar dulu itu saya ‘buta’,” ujar Uskup Surabaya, Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo, atau kerap disapa Uskup Didik . “Saya merasa bahwa teman teman difabel adalah orang lain. Romo tidak berpikir bahwa teman bisa mendengar, melihat, belajar sabda Tuhan, ikut misa, terima komuni, mengaku dosa dan lainnya. Dulu saya tidak sadar itu,” lanjut Uskup Didik.

Kesadaran itu, kata Uskup, tidak datang tiba-tiba, tetapi tumbuh perlahan seiring perjalanan rohaninya sejak tahun 1998. Berawal dari pendampingan terhadap umat Tuli, perlahan Uskup menyadari kebutuhan mereka. Ia menyebut pengalaman itu sebagai “mata baru”. Sebuah cara melihat rencana Tuhan yang lahir dari hati dan iman.

“Paus Fransiskus pernah mengajarkan supaya kita bisa ‘melihat dengan telinga dan mendengar dengan mata’. Aneh tapi sangat istimewa,” katanya.

Salah satu pesan kuat yang ditekankan dalam misa adalah tentang bagaimana Tuhan menciptakan setiap orang dengan karunia berbeda. Mungkin satu indra kurang, tapi karunia lain ditambahkan.

Namun, Uskup Didik tak menyangkal bahwa merubah pola pikir ini tidak mudah. Masih ada umat yang menganggap difabel sebagai ‘beban’ atau bahkan sebagai bentuk hukuman Tuhan. Sebagian dari umat difabel sendiri pun tumbuh dalam rasa malu, trauma, atau tertutup dari komunitas. “Karena itu, gereja kini mengemban tugas besar untuk membuka ruang bagi difabel,” pesannya.

Uskup Didik mengungkapkan sebuah impian, yakni melihat umat difabel menjadi misdinar, kolektan, lektor, asisten imam, bahkan katekis dan romo. “Sangat memungkinkan untuk umat difabel menjadi Imam atau yang lain,” ujarnya. “Namun, infrastrukturnya kita (Indonesia) belum punya. Misalnya belajar teologi atau filsafat, gurunya belum ada.  Yang  (sudah) siap Amerika,” terangnya.

Uskup Didik percaya, suatu hari nanti akan ada katekis, pelayan gereja, bahkan imam yang lahir dari komunitas difabel.  “Sangat indah, bukan?” tutup Uskup Didik.

Gereja Katolik Hati Kudus Yesus menggeser beberapa baris kursi depan agar menjadi ruang bagi pengguna kursi roda dan umat difabel Tuli agar dapat melihat juru bahasa isyarat selama Misa Yubileum Difabel, Kamis (1/5/2025). (foto:niken oktavia/superradio.id)

Katekis Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya, Melania Safirista Sofiarti menjelaskan, tantangan tidak hanya menyangkut pembangunan fisik seperti ramp atau toilet aksesibel. Yang paling mendasar adalah mengubah cara pandang umat. “Kami menyadari mengubah struktur bangunan itu perlu waktu dan biaya,” ujarnya. “Bagaimana menjadikan sebuah kultur umat untuk lebih terbuka kepada difabel, ketika berjumpa tak lagi dilihati dari atas bawah atau menghindar bahkan terkesan mengasihani,” jelas Melani.

Ia menyebut bahwa kini mulai banyak umat yang menyambut kehadiran difabel dengan terbuka. Bahkan di beberapa paroki sudah mulai disediakan juru bahasa isyarat saat misa. Namun, kadang justru hambatan datang dari dalam atau dari difabel itu sendiri atau keluarganya yang belum siap hadir di ruang publik karena trauma atau pengalaman tidak menyenangkan.

“Gereja kini sudah terbuka dan harapannya kedepan gereja Katolik Keuskupan Surabaya bisa lebih mengakomodasi dan tidak mengkotak-kotakkan sehingga menjadi gereja inklusi,” pungkasnya.

Dengan jumlah umat difabel mencapai sekitar 500 orang di Keuskupan Surabaya, pastoral difabel telah melakukan berbagai sosialisasi di paroki-paroki. Upaya ini bertujuan agar seluruh gereja ke depan memiliki standar aksesibilitas dan pelayanan yang merata. Langkah-langkah kecil sudah dimulai, tapi jalan menuju Gereja yang sepenuhnya inklusif masih panjang. Perlu dukungan struktural, perubahan cara pandang, serta keterbukaan untuk membangun Gereja yang bukan hanya merangkul, tapi juga belajar dari umat difabel dan memberikan ruang yang utuh. (nio/red)

Tags: , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.