RUU Polri: Pemberian Wewenang Berlebihan Jadi Awal Penyalahgunaan

Rudy Hartono - 10 April 2025
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM

SR, Surabaya – Wacana revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) kembali bergulir. Setelah revisi UU TNI disahkan dalam waktu relatif cepat, kini giliran DPR bersiap membahas Rancangan Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri), yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif sejak Mei 2024. Pembahasan resmi dijadwalkan setelah masa reses berakhir pada 16 April mendatang.

Namun, belum mulai dibahas secara resmi, draf RUU ini sudah menuai banyak sorotan. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian yang terdiri dari Imparsial, YLBHI, dan banyak organisasi nonpemerintah lain, menilai revisi ini berpotensi melahirkan lembaga kepolisian yang superkuat, minim akuntabilitas dan terlalu luas kewenangannya.

Pengamanan aksi massa terdiri atas personel, kendaraan taktis, barikade duri serta barikade kendaraan. (net)

Pasal-Pasal Bermasalah

Berdasarkan draf yang beredar, sejumlah pasal dalam RUU Polri menjadi perhatian. Misalnya, Pasal 16 ayat (1) huruf (q) memberi wewenang kepada Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber demi keamanan dalam negeri. Kemudian, Pasal 16A mengatur bahwa Polri berwenang menyusun rencana dan kebijakan intelijen. Sementara Pasal 14 ayat (1) huruf (o) menyebutkan bahwa Polri dapat melakukan penyadapan.

Pasal-pasal tersebut dikhawatirkan berpotensi memberi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih memperbaiki institusi, revisi ini justru dikhawatirkan menjadikan kepolisian sebagai alat politik yang digunakan untuk menciptakan ketakutan dan membungkam masyarakat.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dr Muhammad Syaiful Aris SH MH LLM, menilai kekhawatiran masyarakat sangat beralasan. “Wajar kalau masyarakat melakukan pengkritisan terhadap lahirnya RUU Polri, karena isu utama dalam revisi ini adalah perluasan kewenangan,” ujarnya kepada superradio.id, Rabu (9/42025).

Dosen yang akrab disapa Aris itu menilai pemberian kewenangan yang besar kepada institusi seperti Polri, sebagai lembaga yang diberikan kewenangan dan senjata sebagai alat paksa, bisa sangat berbahaya jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang kuat. “Kewenangan memang penting untuk pelaksanaan tugas lembaga. Tapi kalau sampai berlebihan, atau bahkan disalahgunakan, akibatnya bisa sangat fatal. Apalagi TNI dan Polri diberi kewenangan dan senjatai. Kalau ada kesalahan, akibatnya sangat fatal,” jelasnya.

UU Polri yang berlaku saat ini dan telah digunakan dalam satu dekade adalah UU Nomor 2 Tahun 2002, produk reformasi yang mengakhiri dominasi militer di ranah sipil. Sebelum reformasi, kepolisian berada di bawah struktur ABRI (sekarang:TNI –Red). Namun setelah Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 dan VII/MPR/2000 diberlakukan, terjadi pemisahan antara TNI dan Polri. TNI fokus pada urusan pertahanan, sementara Polri bertanggung jawab terhadap keamanan. Atas dasar dua Ketetapan MPR itulah DPR membentuk dan mengesahkan UU Polri Nomor 2 tahun 2002.

Tampilkan Semua

Tags: , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.