Ribuan Masjid Dibangun, Penyandang Disabilitas Terpaksa Ibadah di Rumah

SR, Surabaya – Menjalankan ibadah dengan tenang dan aman adalah hak segala golongan, pun dengan disabilitas. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya pada pasal 80 mengamanatkan kepada pemerintah daerah mendorong rumah ibadah menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Interaksi insan dengan Tuhan Sang Pencipta adalah salah satu kebutuhan dasar setiap orang. Baik interaksi dalam doa secara sediri atau bersama-sama dengan umat seiman lainnya. Memang berdoa bisa dilakukan di mana saja, namun beribadah di tempat peribadatan akan menambah kekhusukkan dalam memanjatkan harapan dan keluh kesah kepada- Nya.
Namun bagaimana fakta di lapangan? Sudahkah disabilitas terfasilitasi dengan baik di tempat-tempat peribadatan? Di Surabaya berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2022, terdapat 1759 masjid, 1950 mushala, 721 gereja, dan 3 klenteng.
Untuk mengetahui hal itu, Super Radio telah melakukan pendalaman di beberapa lini. Menghimpun informasi dan keluhan teman-teman tunanetra dan tunadaksa atas fasilitas ibadah di Surabaya. Salah satunya keluhan dilontarkan Ikueric Tegar Wicaksono, penyandang tunanetra, mengaku belum menemukan masjid atau musala di Surabaya yang ideal bagi disabilitas netra, bahkan di masjid besar seperti Masjid Al-Akbar Surabaya (MAS).
Sepengetahuan pria usia 22 tahun itu, saat memasuki MAS tak ditemukan guiding block dan struktur lantai pelataran yang tidak rata seringkali membuatnya kesulitan melangkah. Ia juga mendapati kondisi bidang miring di beberapa bagian masjid MAS. “Kalau menurut saya di sana itu jalannya masih agak kurang akses sebab masih butuh bantuan orang yang bisa melihat. Ada tanjakan yang tinggi di sekitarnya turunan di sana itu langsung pakai tangga itu harus hati-hati juga,” ujarnya
Di tengah kesulitan beribadah di MAS, ia mengeluhkan kurangnya kepekaan petugas masjid untuk membantunya. Ia bercerita, selama beribadah di MAS, dirinya belum pernah dibantu ataupun diarahkan oleh petugas yang ada. Tegar lebih sering dibantu teman untuk mencari jalan ke masjid, ke tempat wudu hingga ke tempat shalat.
“Jalan akses masuk masjid menurut saya butuh guiding block sama bidang miring, jadi untuk arahnya kalau saya lebih ke guiding block jadi gak perlu meraba dulu, kita tinggal mengikuti guiding block. Untuk Al Quran braille saya belum tahu ada atau engga,” tuturnya. Ketidaknyamanan itu membuatnya memilih shalat di rumah dibandingkan ke masjid atau musala.
Rindu Dengar Khutbah Jumat

Hal serupa disampaikan Romeo Deva Islami Putra Sugianto, seorang tuna daksa asal Surabaya yang menderita cerebral palsy. Ia lebih memilih ibadah di rumah daripada harus ke masjid. “Biasanya saya ibadah shalat zuhur itu di sekolah tapi kalau selanjutnya itu di rumah. Saya pernah ibadah di masjid tapi jarang,” ucapnya.
Keterbatasan Deva dalam bergerak membuatnya lebih sulit mengakses tempat umum, pun untuk beribadah. Ia bercerita, selama ini jika ingin ke masjid selalu dibantu orang tuanya yang mendorong kursi rodanya. “Saya kalau ke masjid itu harus diangkat atau dibantu kalau gak gitu digendong. Itu pun agak susah naiknya karena tidak rata, ada tanjakan,” ungkapnya.
Tak berhenti di situ, Deva juga harus memutar otak untuk bisa berwudu di Masjid Agung sebab lokasi tempat wudu berada di basement, untuk mencapainya hanya bisa dilalui menggunakan anak tangga. Sehingga kursi roda pun tidak bisa digunakan di ruang wudu yang memiliki 539 titik kran air dan 35 kamar mandi itu. “Praktis, tempat wudhu dan toilet di masjid agung tidak aksebilitas bagi disabilitas seperti saya. Jadi, kalau ke MAS berwudunya pakai tayamum,”ujarnya. “Setelah bertayamum, saya masih harus berjuang untuk mengayuh kursi roda melewati bidang miring di sisi kiri atau kanan masjid yang agak curam menuju tempat shalat,” aku Deva.
Siswa kelas 12 SLB YPAC Surabaya itu mengaku rindu beribadah di masjid-masjid besar, namun apa daya. Kurangnya aksesibilitas dan sarana prasarana yang menunjang membuatnya mengurungkan niat. Ia pun berharap segera ada solusi atas hal tersebut. “Sesungguhnya saya rindu mendengarkan khutbah Jumat di masjid dekat sekolahan yang tak bisa saya ikuti lagi karena orang tua saya tidak bisa mengantar ke sana,” keluh Deva.
Misa Khusus Disabilitas Masih Minim

Tidak hanya masjid yang dikeluhkan penyandang disabilitas. Gereja pun juga belum memberi akses yang baik bagi mereka. Salah satunya disampaikan Eliezer selwyn Horman, tuna netra, yang menjadi relawan di Gereja Katolik Santo Aloysius Gonzaga. Ia mengaku kesulitan saat hendak ke toilet selagi prosesi misa berlangsung. “Di tengah misa berlangsung saya ingin ke toilet, tapi tak ada keterangan braille sehingga menahan buang hajat. Jadi saya cuma mendengarkan dan mengikuti instruksi dan nyanyiannya dari suara saja,” jelasnya pria usi 26 tahun itu usai misa.
Kendala bertambah ketika bangunan gereja bertingkat atau bangunan gereja berada di ketinggian di atas tanah sehingga untuk mengaksesnya harus melalui anak tangga. “Bagi teman daksa, gereja seperti itu pasti menyulitkan bagi mereka yang menggunakan kursi roda ataupun tongkat penyangga,” ungkapnya.
Difabel lain, Bonifacius David Hermawan, disabilitas daksa, menyebut tak ada keluhan berarti pada fasilitas gereja di Gereja Katolik Santo Aloysius Gonzaga yang menggelar misa khusus disabilitas. Hanya ia ingin program misa khusus seperti saat natal 2024 kemarin lebih sering diprogramkan secara berkala.
“Untuk masuk gereja tidak ada kesulitan, jalannya sudah cukup aman buat saya karena ada bidang miring. Evaluasinya, saya ingin gereja-gereja di Surabaya bisa lebih mengerti dengan anak-anak disabilitas juga. Di sini (Gereja Katolik Santo Aloysius Gonzaga, Red) sudah ramah difabel, tapi frekuensi misa khusus difabel bisa ditingkatkan lagi jumlahnya,” sebutnya.
Tampilkan SemuaTags: disabilitas, gereja, masjid, Rumah Ibadah, superradio.id
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.