Mengupas Mitos dan Fakta Bulan Suro, Bulan Sakral untuk Masyarakat Jawa

Yovie Wicaksono - 19 July 2023
Prosesi Jamasan Pusaka di Candi Songgoriti, Selasa (25/9/2018). Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

SR, Surabaya – Malam 1 Suro merupakan penanda adanya tahun baru dalam kalender Jawa. Kedatangan momen tersebut seringkali hadir dengan berbagai mitos dan tradisi. Lantas bagaimana faktanya?

Pegiat sejarah dan budaya, Nur Setiawan menjelaskan, bulan Suro bukan hanya momen pergantian tahun melainkan juga punya sejarah panjang. Penanggalan Jawa ini pertama kali dicetuskan oleh Raja Mataram Kuno, Sultan Agung. Kala itu, Sultan Agung yang merupakan cendekiawan mensinergikan kalender Jawa dan Islam sehingga terciptalah satu Suro.

“Jadi leluhur kita itu dulu sudah punya kepercayaan sendiri dan terlampau toleransinya akhirnya banyak agama yang datang dan bisa membaur dengan budaya lokal,” ujarnya, Rabu (19/7/2023).

Akulturasi budaya inilah yang membentuk banyak tradisi di masyarakat Jawa, mulai dari kenduren, berdoa bersama di punden, hingga kirab budaya atau sedekah bumi sebagai wujud syukur, evaluasi diri atas apa yang telah dilakukan di sepanjang tahun, sekaligus berdoa untuk tahun yang baru.

“Ada banyak tradisi, seperti mendoakan leluhur yang sudah membabat alas, dan kadang ada kirab budaya, diselipi sholawatan, membawa lampion berkeliling kampung menyanyi tembang dolanan, ada juga yang disertai pantun jika bertemu kampung lainnya,” tuturnya.

Selain itu, Suro juga identik dengan simbol penyucian, misalnya lewat tradisi jamasan pusaka ataupun mandi kembang dengan bunga tujuh rupa dengan air yang diambil dari berbagai sumber mata air.

“Jadi di bulan Suro ini kita terlahir kembali sebagai manusia yang netral untuk melepas aura negatif, dijauhkan dari sifat angkara murka. Yang dijamas bukan hanya pusaka tapi juga manusianya, pola pikirnya,” ucapnya.

Selanjutnya, ketika memasuki hari pertama bulan Suro, masyarakat Jawa biasanya akan membagikan bubur Suro kepada para tetangganya. Dimana warna putih dalam bubur menyimbolkan kesucian, sedangkan suwiran ayam atau telur melambangkan manusia yang harus membawa manfaat untuk kehidupan.

Hal ini, kata Wawan, juga menjadi simbol syukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan sekaligus mendoakan para leluhur di wilayah tersebut. “Di setiap bahannya itu ada maknanya, tujuannya sebagai wujud syukur dan bentuk sedekah dalam bentuk makanan jadi bisa dipertemukan, saling memaafkan satu sama lain,” jelasnya.

Meski bermakna baik, namun tak jarang bulan Suro dikaitkan dengan mitos yang menyeramkan. Seperti, larangan mengadakan hajatan, berkata kotor, pindah rumah, hingga larangan keluar rumah saat malam satu Suro yang jika dilanggar akan mendatangkan musibah.

Menanggapi hal tersebut, Wawan menjelaskan, hadirnya mitos tersebut merupakan simbol penghormatan pada bulan sakral, sebab Suro yang merupakan bulan Muharam juga bertepatan dengan mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi Thalib cucu terkasih Rasulullah SAW dalam peristiwa Karbala di Irak.

Dan dalam budaya Jawa, jika di tanggal tertentu bertepatan dengan meninggalnya atau biasa disebut geblaknya leluhur, maka tidak etis mengadakan kegiatan yang bersifat euforia.

“Ketika orang Jawa menikah kan juga cari hari baik, jadi tidak etis kalau ada peringatan berkabung tapi malah menggelar pesta. Nah karena mitos itu sudah lama dan menjadi doktrin akhirnya sampai sekarang banyak anggapan tidak boleh menggelar pesta seperti pernikahan saat bulan Suro,” kata Wawan.

“Tapi ini juga efeknya baik, ada kalanya dalam beberapa bulan itu kita vakum, ada penyucian, ruwatan tujuannya untuk penyucian kembali, kembali ke fitrah jadi ada hubungannya dengan sejarah islam juga,” sambungnya.

Untuk itu hendaknya, saat memasuki tahun baru di penanggalan Jawa dan penanggalan Islam diisi dengan refleksi diri dan mendoakan leluhur terdahulu.

Terlepas dari banyaknya mitos yang beredar, bulan Suro tetap menjadi bulan sakral dengan segala tradisi yang harus terus dilestarikan. Wawan pun berharap, semua pihak dapat mengambil peran untuk menjaga budaya yang ada.

“Kita lahir di bumi menjadi mahluk yang bermanfaat sehingga kebaikan ini kita lanjutkan ke anak cucu nanti. Bisa dimulai dengan membuat acara dan disertai publikasi sehingga anak muda itu dilibatkan agar tetap melestarikan. Ketika mereka terlibat niscaya akan dilanjutkan, jadi harus ada contoh,” pungkasnya. (hk/red)

Tags: , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.