Menggelorakan Tari Remo, Melestarikan Budaya Bangsa

Yovie Wicaksono - 14 September 2017
Penari dari Sanggar Laboratorium Remo memeragakan salah satu gerakan tari Remo (foto : Laboratorium Remo/Dini Ariati)

Feature

SR, Surabaya – Suaranya lantang saat memberi aba-aba dan instruksi kepada anak didiknya, bahkan lebih keras dibandingkan iringan musik yang diperdengarkan untuk mengiringi gerakan yang ditarikan anak-anak usia sekolah dasar. Itulah Dini Ariati (50), pelatih dan pegiat seni tari Remo di Surabaya.

Bertempat di salah satu ruang di bagian belakang kompleks Taman Budaya Jawa Timur, atau biasa dikenal dengan Gedung Budaya Cak Durasim, di Jalan Genteng Kali Surabaya, belasan anak menggerakkan tangan yang menyandang sampur atau selendang, dengan hentakan kaki yang memakai dongseng atau kerincingan. Dengan tekun anak-anak itu berlatih tari Remo setiap Senin sore.

Kepada Superradio.id, Dini Ariati menuturkan awal mula dirinya berkecimpung di bidang seni tari, khususnya Remo. Mengajar dari 1989 sampai sekarang, Dini dikenal sebagai salah satu pakar Remo di Surabaya. Tidak hanya mengajar di sanggarnya di Taman Budaya Jawa Timur yang diberi nama Laboratorium Remo, dia juga melatih di beberapa tempat seperti sekolah dan universitas.

“Remo itu nyawa saya, nafas saya, hidup saya, dan rejeki saya yang pasti. Di situ saya berkembang dan banyak dikenal mulai dari yang kecil sampai yang besar. Saya sangat senang mengajar tari Remo, terutama mengajar anak-anak,” kata Dini Ariati.

Dini menuturkan, bahwa tari Remo pada awal mulanya merupakan bagian pembuka dari pertunjukan seni Ludruk. Meski pada perkembangannya, tari Remo telah mampu berdiri sendiri menjadi suatu pertunjukan tunggal yang terlepas dari pertunjukan Ludruk.

“Remo pada waktu itu memang untuk pembukaan pertunjukan ludruk. Kalau pada jaman pergerakan kemerdekaan dipakai sebagai alat pemersatu bangsa, karena pada waktu itu ada seni untuk kelas atas dan seni kelas bawah,” kisahnya.

Ludruk berkembang pada jaman Cak Durasim di masa perjuangan kemerdekaan, dengan slogan yang popular yaitu, “Pagupon Omahe Doro, Melok Nipon Tambah Sengsoro” yang artinya Pagupon Rumahnya Burung Merpati, Ikut Jepang Tambah Susah.

Makna Remo bagi Dini adalah tarian yang menggambarkan ciri atau karakter arek Suroboyo, yang dinamis, lugas dan memiliki semangat perjuangan yang tinggi.

“Yang bisa kita ambil adalah semangat juangnya. Melalui tari Remo ini, saya berharap adik-adik lebih mengenal tari tradisional yang khas dari Jawa Timur,” kata Dini.

Belajar tari Remo tidaklah susah menurut Dini, meski di awal mulanya gerakan tari Remo dikenal susah dan membutuhkan waktu berlatih yang lama. Selain itu kerumitan tari Remo dapat dilihat dari durasi tarian yang cukup lama, bahkan ada yang memakan waktu hingga 30 menit.

“Kalau sekarang tari Remo sudah banyak berkembang dan mengikuti kekinian. Gerakannya sekarang lebih mudah, sehingga lebih dicintai dan disukai generasi muda sekarang,” ujar Dini.

Penari Remo cilik saat menampilkan tari pembuka acara (foto : Superradio/Srilambang)

 

Tari Remo sebelumnya hanya ditarikan oleh orang dewasa yang sudah menggeluti seni tari secara mendalam, namun perkembangan saat ini tari Remo sudah banyak dipelajari oleh remaja maupun anak-anak.

“Mempelajari tari Remo sebenarnya tidak sulit. Janji saya pada siswa yang ikut di sanggar saya, 4 bulan saya target harus bisa dan mampu, asal masuknya rutin. Memang kadang orang lihat tari Remo itu sukar geraknya, yang pasti capek, karena memang harus ada gerak yang mengangkat tangan, membuka kaki, dan itu butuh kesadaran yang belajar untuk berlatih sungguh-sungguh atas kemauan sendiri,” terang Dini.

Diakui oleh Dini, dalam 5 tahun terakhir pemerintah banyak membuat kegiatan yang melibatkan anak-anak sekolah, salah satunya dengan menampilkan kesenian tradisional. Pada setiap Hari Ulang Tahun Kota Surabaya setiap 31 Mei, pemerintah kota selalu menampilkan kolosal tari Remo yang melibatkan ratusan, bahkan ribuan peserta.

“Jadi even 5 tahun terakhir ini pemerintah sangat mendukung kami, dalam mengembangkan tari tradisional khususnya Remo. Akhirnya banyak anak yang justru sekarang mencari sanggar tari Remo, ini artinya minat anak-anak semakin tumbuh,” ulas Dini.

Meski mulai tumbuh dan berkembang, tari Remo dihadapkan pada masih minimnya sanggar tari Remo untuk anak-anak. Di Surabaya saja, hanya ada 4 sanggar tari Remo yang khusus melatih anak-anak, yakni di Genteng Kali, Kapas Krampung, Simo Rukun, dan Kampung Ilmu di Jalan Semarang. Jumlah ini masih butuh ditambah, disertai dorongan kepada anak-anak dan generasi muda untuk ikut melestarikan tari tradisional.

“Untuk yang di sanggar saya ada 150 orang dari anak sampai remaja. Tapi kalau total seluruhnya, bisa 1.000 orang. Seperti HUT Kota Surabaya beberapa waktu lalu, kita bisa nimbus 2.500 penari dan memecahkan rekor MURI,” kata Dini.

Kepedulian Pemerintah Kota Surabaya dalam melestarikan kesenian tradisional patut disyukuri, karena hampir setiap kegiatan yang digelar pemerintah maupun isntansi di bawahnya, selalu menampilkan tari tradisional, terutama Remo sebagai tampilan pembuka.

“Alhamdulilah sekali, ibu Risma, ibu’e arek Suroboyo, sangat mencintai budaya tradisional khususnya tari Remo. Kegiatan seni semakin semarak, semua taman yang ada di Surabaya digerakkan sebagai tempat menampilkan kegiatan seni. Hampir semua instansi, semua acara pakai remo,” tutur Dini.

Seni tari, lanjut Dini, saat ini sudah dapat digunakan untuk mendapatkan sekolah yang diinginkan, khususnya melalui jalur prestasi. Anak-anak yang memiliki prestasi dan kemampuan di bidang tari, dapat dijadikan semacam “tiket” untuk memilih sekolah negeri yang diinginkan.

“Adik-adik kita kalau punya prestasi di bidang seni, terutama tari, sudah bisa dipakai untuk jalur prestasi memilih sekolah,” lanjutnya.

Selain peran serta orang tua untuk terus mendorong dan menumbuhkan minat anak untuk mencintau kesenian tradisional, Dini berharap pemerintah terus mendorong kemajuan kesenian tradisional melalui kegiatan pertukaran budaya antara negara.

“Semoga orang tua dan masyarakat lebih mencintai budaya tradisional, sehingga akhirnya putra-putrinya juga akan tumbuh perasaan mencintai itu. Sedangkan untuk pemimpin kita kedepan, semoga para pengganti yang sekarang ini tetap mengedepankan kesenian tradisional tetep berdiri sejajar dengan budaya negara lain,” urainya.

Dini mengaku tidak takut dengan derasnya arus global, yang memungkinkan semua bentuk budaya dan pengaruh kehidupan dari luar Indonesia akan menggerus identitas bangsa. Keyakinan itu diperoleh dari masih banyaknya anak-anak usia sekolah dasar yang berminat belajar tarian tradisional dengan datang ke sanggar tari seperti di Laboratorium Remo yang dikelolanya. Kepedulian dan kesadaran semua masyarakat akan pentingnya melestarikan seni budaya bangsa, diyakini akan mampu menangkal derasnya budaya asing yang masuk ke Indonesia.

“Karena memang Remo punya warna sendiri, dan tidak perlu takut tergerus. Hanya saja kita harus terus berinovasi dan tidak kaku terhadap perkembangan jaman, karena tarian Remo juga dinamis. Buktinya dari luar negeri juga banyak yang belajar budaya kita,” pungkasnya.

Sejumlah anak belajar tari remo di Laboratorium Remo di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (foto : Superradio/Srilambang)

 

Sementara itu, Aprilia Rahma Putri Herdianti Syam (20), merupakan salah satu murid Dini Ariati, yang akhirnya menjadi asisten Dini saat melatih tari Remo di Laboratorium Remo. Kegemaran dan kecintaannya pada tari Remo menjadikannya terus menari dan mengajar tari di beberapa sekolah dasar.

“Saya dari kecil suka tari dan hobi tari, dan setelah lulus sekolah saya ingin mengajar dan bekerja di bidang tari. Sekarang saya mengajar tari, sudah 2 tahun ini,” kata Putri, sapaan akrabnya.

Putri mensyukuri peminat tari Remo saat ini sudah semakin meningkat, seiring digalakkannya seni dan budaya tradisional di Kota Pahlawan. Putri berharap, generasi muda banyak yang melestarikan seni dan budaya daerah, salah satunya melalui tari Remo.

“Kalau di Surabaya minat terhadap tari Remo alhamdulillah sedang banyak yang minat, karena di Surabaya lagi digalakkan seni dan budayanya. Anak-anak muda diharapkan ikut mengangkat budaya sendiri, daripada budaya dari luar. Ini agar tari tradisional termasuk Remo tidak hilang diambil orang atau negara lain,” ujar Putri.

Salah satu orang tua wali murid di Laboratorium Remo mengatakan, dipilihnya tari Remo untuk dipelajari anaknya, agar anaknya mampu mempelajari tari tradisional lain yang tingkat kesulitannya masih dibawah tari Remo.

“Memang gerakannya sulit, tapi justru itu nanti tarian yang lain bisa lebih mudah, itu kata gurunya,” kata ibu dari siswi bernama Syifa.

Sedangkan Maureen, salah satu siswa didik di Laboratorium Remo, mengaku belajar tari Remo karena ingin melestarikan budaya bangsa Indonesia.

“Saya memang suka menari, termasuk Remo karena merupakan tarian tradisional Jawa Timur. Saya ingin ikut melestarikannya,” tandas Maureen.(ptr/red)

Tags: , , , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.