Keuskupan Surabaya Hadirkan Gereja Berstandar Ramah Difabel

Yovie Wicaksono - 1 May 2025
Uskup Didik bersama para Romo berfoto bersama umat difabel dan keluarga pada Misa Yubileum Khusus Difabel di Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya, Kamis (1/5/2025) (foto:niken oktavia/superradio.id)

SR, Surabaya – Saat libur Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2025, suasana Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya tampak berbeda. Sekira 300 umat difabel, bersama keluarga mereka, mulai berdatangan sejak pukul 09.00 WIB dari berbagai paroki di Kevikepan Surabaya.

Ada yang datang menggunakan kursi roda, ada yang dibantu relawan, ada pula yang menggenggam erat tangan orang tercinta antusias memasuki gereja.

Untuk pertama kalinya, sebuah Misa Yubileum khusus bagi umat difabel digelar secara resmi. Misa khusus ini sebagai simbol inklusivitas dan perwujudan hadirnya gereja bagi difabel.

Ketua Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya, Romo Gabriel Galileo atau yang akrab disapa Romo Leo, menjelaskan pastoral ini resmi dibentuk pada tahun 2019 atas inisiatif Bapa Uskup Surabaya Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Pastoral Difabel.

Lenny Angkriawan (Difabel netra) asal Stasi St Yosafat Surabaya menyanyikan Mazmur dalam liturgi saat Misa Yubileum Difabel, di Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya, Kamis (1/5/2025). (foto:niken oktavia/superradio.id)

“Gereja melihat adanya keprihatinan tentang bagaimana umat difabel selama ini belum sepenuhnya mendapat pendampingan rohani yang memadai,” ungkap Romo Leo.

Maka ketika Paus Fransiskus menyerukan agar setiap keuskupan menyambut Tahun Yubileum 2025 dengan agenda khusus untuk umat difabel, Keuskupan Surabaya menyambutnya dengan penuh sukacita.

Perayaan Yubileum Difabel keuskupan Surabaya ini dijadwalkan berlangsung di tiga titik besar: Surabaya, Madiun, dan Kediri. Katedral Surabaya menjadi tempat pertama yang menggelar misa ini. “Ini adalah panggilan bagi seluruh umat, bahwa kita semua, termasuk mereka yang difabel, adalah bagian dari para peziarah iman, bagian dari harapan,” ujar Romo Leo.

Lebih lanjut, Uskup Surabaya, Mgr. Didik menyampaikan, Gereja Katolik, lewat pastoral difabel, berkomitmen untuk menjadi rumah yang ramah. Ia menyoroti bagaimana umat difabel, yang memiliki berbagai tantangan fisik dan mental, selama ini mereka belum terfasilitasi. Terutama bagi mereka yang akan menerima sakramen.

“Misalnya saat baptis, dahulu disamaratakan, sehingga mereka yang Tuli bagaimana bisa mendengarkan pengajaran? Jadi mereka Cuma hadir. Hanya begitu. Hak mereka untuk mengenal ajaran gereja tidak terpenuhi,” katanya.

Kini, lanjutnya, paroki-paroki diharapkan mulai membuka diri menyediakan layanan khusus, relawan, akses fisik yang ramah, hingga penyediaan juru bahasa isyarat dalam misa.

“Kita sedang menuju Gereja yang punya standar ramah difabel, di mana sakramen, pelayanan, dan bahkan fasilitas fisik gereja pun memperhatikan kebutuhan mereka,” ujar Uskup.

Uskup Didik bersama para Romo berfoto bersama umat difabel dan keluarga pada Misa Yubileum Khusus Difabel di Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya, Kamis (1/5/2025) (foto:niken oktavia/superradio.id)

Misa hari itu terasa begitu spesial. Kursi-kursi di bagian depan digeser dan menyisakan ruang khusus bagi umat difabel pengguna kursi roda, juga beberapa baris depan ditempati bagi difabel Tuli agar dapat melihat juru bahasa isyarat secara langsung. Dalam liturgi ini, umat difabel diberi peran istimewa sebagai Misidinar, pembacaan Mazmur dan penghantar persembahan ke altar dilakukan langsung oleh mereka.

Shintia, umat dari Paroki Santo Paulus Jember, datang jauh-jauh ke Surabaya bersama anaknya, Evan, yang merupakan penyandang difabel. “Senang sekali bisa ikut misa Yubileum. Rasanya ada komunitas, ada teman-teman yang sejalan. Kami merasa tidak sendiri,” ujar Shintia sambil tersenyum.

Ia mengaku bahwa banyak hal yang ia pelajari dari misa ini, termasuk bagaimana gereja bisa menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami umat difabel.  “Gereja sudah membuka pintu dan akan lebih memberdayakan teman difabel sebagai misidinar, pembawa persembahan, maka sejauh apapun akan saya kejar kesempatan ini. Ini bisa kami bawa pulang ke Jember. Kami ingin Gereja kami juga lebih terbuka dan memberi ruang kesempatan difabel untuk melayani,” tambahnya.

Setelah misa, umat diajak naik ke lantai dua untuk ramah tamah bersama Uskup. Senyum dan tawa mengisi ruangan. Di tengah banyak keterbatasan yang kerap dianggap sebagai beban oleh masyarakat luas, hari itu umat difabel merayakan iman mereka.

“Kalau dunia sering menilai, menghakimi dan tidak sabar terhadap kita,” ujar Uskup Didik, “ingatlah bahwa Tuhan berbeda. Tuhan sabar, Tuhan mengerti, Tuhan mencintai kita. Dan lewat cinta keluarga serta orang-orang di sekitar kita yang mengasihi dan mengerti kita, Tuhan sedang menunjukkan Cinta-Nya.”

Melalui misa Yubileum ini, 300 peziarah pengharapan kembali dikuatkan. Mereka tidak sendirian. Dan Gereja, rumah iman mereka, benar-benar terbuka untuk semua. (nio/red)

 

Tags: , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.