Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas dan Kusta Masih Terabaikan

SR, Malang – Kesehatan menjadi satu kebutuhan dasar manusia yang bersifat penting dan tidak bisa ditunda. Namun faktanya, hak kesehatan bagi penyandang disabilitas dan kusta masih terabaikan pemenuhannya.
Terlebih, setiap ragam disabilitas memiliki keunikan dan kebutuhan mendasar atas kesehatannya seperti terapi fisik, terapi wicara, konseling, parenting, dan terapi lainnya.
“Sayangnya layanan kesehatan berbasis kebutuhan ragam disabilitas hanya ada di rumah sakit atau spesialis dan berbayar. Lalu puskesmas sebagai faskes terdekat tidak memiliki sumber daya memadai, padahal disabilitas memiliki hambatan mobilitas dan biaya,” ujar Pembina Lingkar Sosial Indonesia (Linksos) Kertaning Tyas dalam Dialog Nasional Pemenuhan dan Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas dan Kusta di Malang, Selasa (20/12/2022).
Belum lagi khusus kusta, lanjut pria yang akrab disapa Ken ini, saat ini semakin langka tenaga medis yang memiliki kapasitas memadai untuk penanganan kusta.
Dampak mahalnya biaya kesehatan bagi penyandang disabilitas itu menimbulkan stigma disabilitas sebagai beban keluarga dan lingkungan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pembiaran, pemasungan, pengasingan yang ini tentu melanggar hak disabilitas.
“Dampak berikutnya penyandang disabilitas ditinggalkan dalam kehidupan sosial, seperti pendidikan, pekerjaan, politik, budaya, hingga pembangunan inklusif,” sambung Ken.
Maka dari itu, perlu adanya langkah afirmatif di tingkat lokal yang sesuai dengan kebutuhan beragam disabilitas, misalnya adanya posyandu disabilitas untuk mendekatkan layanan kesehatan disabilitas di tingkat desa yang gratis, mudah diakses dan terjangkau.
Selain itu juga membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) Kecamatan Inklusi, yakni sebuah unit kolaborasi pemerintah dan masyarakat untuk memudahkan pelayanan disabilitas dan mendorong pengembangan desa inklusi dan posyandu disabilitas.
“Posyandu disabilitas dan ULD Kecamatan Inklusi pertama di Indonesia ada di Kabupaten Malang. Harapannya bisa diterapkan juga diwilayah lainnya,” kata Ken.
Saat ini, posyandu disabilitas telah berkembang di 12 Desa/Kelurahan dan 3 Kecamatan di Kabupaten Malang yang didanai oleh lintas sektor, diantaranya Pemerintah Desa/Kelurahan (biaya pertemuan), puskesmas (tenaga medic dan obat-obatan), RSJ Lawang (tenaga terapis di awal kemudian beralih ke pelatihan), dan Linksos (pemberdayaan melalui berbagai bidang pelatihan keterampilan dan kegiatan lainnya).
Namun hal itu pun juga memiliki hambatan tersendiri, dimana posyandu disabilitas dianggap sebagai pengkhususan, pemisahan, tidak inklusif padahal idealnya posyandu harus inklusif, tetapi ketia di terapkan sumberdaya posyandu balita maupun puskesmas tidak memadai.
Kemudian belum terfasilitasinya pelatihan terapi bagi nakes Puskesmas dan kader, pelatihan pendataan, pelatihan tentang disabilitas dan lainnya yang itu berdampak pada minimnya kualitas SDM kader posyandu disabilitas dan nakes dalam pelayanan kesehatan disabilitas.
Sebagai solusinya, Ken mendorong adanya regulasi di tingkat desa hingga pusat yang mewajibkan adanya posyandu disabilitas di setiap desa/kelurahan, serta perlunya Perda Disabilitas untuk memastikan penganggaran.
Sementara itu, Bejo Riyanto dari Konsorsium Pelita menambahkan, permasalahan penyandang disabilitas terkait akses layanan dan jaminan kesehatan juga meliputi informasi, deteksi dan intervensi dini disabilitas yang masih terbatas.
Kemudian akses dan ketersediaan obat-obatan khusus yang terbatas utamanya di daerah, serta alat bantu yang belum menjadi kebutuhan penyandang disabilitas yang dijamin.
Untuk itu, Bejo memberikan beberapa rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti untuk pemenuhan hak kesehatan bagi penyandang disabilitas dan kusta, diantaranya adanya layanan edukasi dengan menggunakan berbagai metode yang lebih inovatif dan mengembangkan media Kominikasi, Informasi, Edukasi (KIE) melalui media audio visual dan teks.
Lalu memperkuat layanan kesehatan primer dalam penegakan diagnosa dari rujukan dan mengembangkan sistem deteksi dini melalui peningkatan kapasitas kader kesehatan lokal, penyusunan SOP pelayanan disabilitas di rumah sakit dan membuat buku pedoman/petunjuk umum/buku rujukan penanganan terapi disabilitas, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pengembangan kurikulum terkait disabilitas.
Kemudian memproduksi obat-obatan dalam negeri dan mempermudah mekanisme pembelian obat, namun tetap menjamin aspek keamanan dan keselamatan.
“Adanya pengembangan prototype alat bantu dengan sumber daya dan material lokal. Lalu adanya program jaminan kesehatan negeri dan swasta, pemerintah menambah cakupan pembiayaan alat bantu dan kompleksitas penyakit,” kata Bejo.
Terakhir, ia mendorong agar pemerintah mengembangkan layanan rehabilitasi berbasis masyarakat dan memberikan home program kepada orang tua dengan anak disabilitas. (fos/red)
Tags: Hak Kesehatan, kusta, OYPMK
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.