Guru Besar Unair Kritik Aturan Baru Penyitaan Kendaraan 2025

Rudy Hartono - 27 March 2025
Pakar Sosiologi sekaligus Dekan FISIP Unair, Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi

SR, Surabaya –  Wacana penyitaan kendaraan dengan STNK mati dua tahun yang dikabarkan berlaku April 2025 menimbulkan keresahan. Pakar Sosiologi  dari Universitas Airlangga (Unair)  Prof Dr Drs Bagong Suyanto MSi menilai isu ini memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah yang kesulitan membayar pajak kendaraan.

“Kebijakan yang berkeadilan sosial seharusnya membuka celah dilakukannya diskresi bagi warga yang kesulitan membayar pajak,” cetus Bagong Suyanto.

Masyarakat kelas bawah seringkali terjebak dalam kesulitan ekonomi berpotensi menjadi kelompok yang paling rentan oleh kebijakan ini. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan dalam membayar pajak kendaraan, tetapi juga akan terancam kehilangan kendaraan yang mereka gunakan untuk mencari nafkah jika aturan penyitaan diberlakukan tanpa adanya mekanisme keringanan.

Menurut Dekan FISIP Unair ini,  perlu kebijaksanaan dari para elit politik untuk menerapkan pemutihan pajak, terutama situasi ekonomi sedang sulit seperti saat ini. Jika tidak ada kebijakan yang lebih fleksibel, kebijakan ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi.

Potensi Kesalahan Sistem

Dalam konteks penerapan tilang elektronik (ETLE), Prof Bagong mengungkapkan bahwa sistem ini memiliki keterbatasan dalam melakukan diskresi. “Tilang elektronik tidak memungkinkan adanya diskresi,” ujarnya. Ini berarti bahwa sistem akan menindak pelanggar secara otomatis, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi atau alasan di balik keterlambatan pembayaran pajak kendaraan.

Meski pihak kepolisian menegaskan bahwa tidak ada perubahan aturan tilang dan tetap mengacu pada regulasi yang sudah ada. Namun, fakta bahwa isu ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat menunjukkan adanya celah dalam sistem sosialisasi kebijakan.

Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pajak kendaraan. Namun di sisi lain, tanpa adanya mekanisme perlindungan bagi masyarakat kecil, kebijakan ini bisa berujung pada ketidakadilan sosial. “Perlu sistem keringanan atau cicilan pajak bagi warga kurang mampu, sementara pelaku usaha besar harus diawasi ketat agar tak menghindari pajak. Jika tak seimbang, kebijakan ini bisa memperlebar kesenjangan sosial,” pungkasnya. (*/red)

 

Tags: , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.