77 Tahun Hari Buruh, Nasib Pekerja Anak Belum Ada Titik Terang

SR, Surabaya – Sudah 77 tahun sejak 1948, Indonesia memperingati Hari Buruh sebagai simbol perjuangan para pekerja. Namun faktanya nafas perjuangan itu masih perlu usaha keras. Berbagai isu buruh belum menemukan titik terang. Salah satunya soal pekerja anak.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 1,01 juta di tahun 2023. menyebutkan bahwa jumlah tersebut setara dengan 1,72% dari total anak-anak di Indonesia, yang masuk usia 5-17 tahun. Mereka tersebar di berbagai profesi. Mulai dari pedagang asongan, kuli bangunan, loper koran, sampai pekerja rumah tangga (PRT).

Menanggapi hal ini, Direktur Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan (KPS2K) Iva Hasanah menyebut, persoalan pekerja anak seperti rantai setan yang kompleks.
Banyak faktor yang membuat anak menjadi korban eksploitasi. Gejolak ekonomi, hingga relasi kuasa membuat persoalan ini seakan sulit menemukan titik terang.
“Yang kami amati ini pekerja anak ini tidak menurun, jadi ini juga pada akhir-akhir ini situasi ekonomi kita kurang menentu,” ujarnya saat dikonfirmasi super radio, Rabu (30/4/2025).
Faktor Maraknya Pekerja Anak
Iva menyebut, setidaknya ada 4 faktor yang memengaruhi adanya pekerja anak.
- Faktor ekonomi
Gejolak ekonomi global membuat ketidakpastian ekonomi di seluruh dunia. Hal ini jelas berpengaruh langsung ke masyarakat. Utamanya di perdesaan. Menurunnya daya beli, perang tarif Amerika dan Cina membuat masyarakat Indonesia tak punya pilihan selain mepekerjakan keluarga termasuk anaknya.
- Faktor pendidikan
Kurang meratanya pendidikan di Indonesia membuat masyarakat mengambil jalan pintas. Tingginya biaya pendidikan ditambah gejolak ekonomi membuat sebagian anak putus sekolah dan memilih bekerja demi menghidupi keluarga.
“Jadi kalau wilayah masih sulit akses pendidikan maka masih banyak pekerja anak. Karena lokasi sma nya jauh kebanyakan lulus smp yang laki laki itu sudah kerja di luar,” tuturnya.
- Faktor Feodalisme
Iva menyebut, kultur Indonesia cenderung menganut faham feodalisme. Menganggap orang tua sebagai bagian tertinggi dan anak sebagai investasi. Ketika anak dirasa cukup usia maka ada dorongan yang mengharuskan anak bekerja sebagai sikap balas budi.
Hal ini, lanjutnya, ditambah dengan kurang berpihaknya kebijakan pemerintah pada pemenuhan hak-hak anak. “Eksploitasi anak yang berkaitan dengan kerja anak kebanyakan ada di ranah domestik. Kadang anak sudah merasa kelelalahn ketika harus menjalanakan kewajibannya. Itu yang sering pekerja anak berbasis keluarga,” sebutnya.
Mencegah bertambahnya pekerja anak
Iva menjelasakan, bicara soal pekerja anak maka solusinya bukan hanya penanganan tapi lebih ke pencegahan atau preventif.
Terlebih keputusan anak untuk bekerja banyak terjadi di ranah domestik. Ada sisi psikologis yang mempengaruhi. “Kalau kita bicara eksploitasi itu kan sebenarnya sudah masuk ke pelanggaran pidana, jadi bagaimanapun walaupun anak niatnya membantu orang tua tapi usia anak ini masih di kesadaran belum di taraf orang dewasa,” jelasnya.
Untuk itu penting mengubah hal tersebut dari hulu. Pemerintah harus aktif melindungi hak-hak anak dari eksploitasi.
Gencarkan edukasi soal hak-hak anak ke masyarakat luas. Ubah pemikiran feodalisme yang memposisikan orang tua sebagai posisi tertinggi yang harus dibalas budinya, bahkan ketika usia anak belum dewasa.
“Perlu peran pemerintah untuk melindungi pekerja anak, dan anak juga harus di edukasi karena melatih dan mempekerjakan anak itu berbeda. Itu saya yang sering lihat itu ada anak yang dibentak karena tidak mau mengerjakan,” jelasnya.
Anak-anak hendaknya mendapat hak sesuai yang diamanatkan perundang-undangan. Pemerintah mengupayakan kehidupan yang layak, memudahkan akses pendidikan sebagai bekal di masa depan.
“Artinya ketika kita melakukan pendekatan pelajaran terhadap anak itu pendekatannya mendidik bukan mempekerjakan. Bukan hanya dalam konteks balas budi,” ungkapnya.
Iva pun turut mengkritisi kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah. Menurutnya hal itu justru menumbalkan nasib anak-anak bangsa. Pemangkasan di beberapa sektor, menyebabkan beberapa dinas pemberdayaan di kabupaten kota harus dimerger yang berpengaruh ke kelompok rentan.
“Atas dasar politik dan efisiensi anggaran yang jadi tumbal pertama adalah intervensi terhadap kelompok rentan. Di beberapa kab kota ada dinas pemberdayaan perempuan yang harus di merger jadi memperkecil alokasi penganggaran baik untuk pemberdayaan maupun perlindungan anak, jadi minim untuk perlindungan,” tandasnya. (hk/red)
Tags: hari buruh, Mayday, pekerja anak, superradio.id
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.