Aenose, Alat Deteksi Kualitas Daging Ayam

SR, Surabaya – Tiga dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair), yakni Suryani Dyah Astuti, Winarno, dan Deny Arifianto menciptakan sistem instrumentasi Aenose berbasis sensor larik gas MQ untuk klasifikasi kualitas daging ayam dan telah mendapat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berupa hak paten pada Januari 2022.
Ketua inventor, Astuti menyebut, Aenose (Airlangga electronic nose) dapat membantu konsumen mendeteksi apakah kualitas daging ayam masih segar atau tidak.
Menurut Astuti, kecanggihan alat ini mampu mengubah data kualitatif menjadi semi kuantitatif berdasarkan tingkat kebusukan daging yang telah diklasifikasi dengan uji organoleptik.
“Misalkan, daging seperti kekuningan, pucat, baunya sekian itu kita deskripsikan sebagai rendah. Kemudian, agak kehitaman berarti sedang dan kalau sudah busuk, berlendir, berair, kita deskripsikan rusak parah. Dengan kita mendeskripsikan itu maka kita sudah memberikan ekstraksi ciri sehingga pada saat ada sampel yang sama, maka mesin akan mendeteksi dengan cepat,” paparnya.
Aenose terdiri dari delapan sensor larik gas MQ yang terintegrasi dengan rangkaian sistem kendali sehingga mampu melakukan karakterisasi campuran gas yang berbeda. Teknologi ini memanfaatkan sensor gas yang meniru fungsi indra penciuman manusia guna deteksi kualitas bahan pangan berdasarkan bau bakteri kontaminan.
“Molekul-molekul yang beraroma gas itu dibawa ke jaringan epitel yang mengandung jutaan sel pengindra berupa sensor maupun reseptor. Nah, reseptor ini mengubah sinyal kimiawi menjadi sinyal dalam bentuk elektrik yang kemudian dikirim melalui saraf ke pusat otak kita untuk mendeteksi bagaimana bau yang sudah dihirup oleh hidung,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, empat komponen utama Aenose meliputi larik sensor gas berupa material polimer konduktif, quartz-micro balance, surface acoustic wave, dan logam oksida; sistem headspace untuk proses sensing dan purging; sistem akuisisi data menggunakan mikrokontroler; serta sistem analisis komputasi guna menangkap pola-pola sinyal elektrik dari hasil akuisisi data. Maka dalam prinsipnya, Aenose menggabungkan ilmu fisika, kimia, dan komputasi.
Ide pengembangan Aenose sendiri bermula dari kolaborasi Kuwat Triyana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang saat itu memanfaatkan e-nose sebagai alat deteksi Covid-19. Selanjutnya, Astuti beserta tim yang dibantu beberapa mahasiswa merangkai sendiri sistem Aenose yang pertama, namun belum berhasil.
Proses pembuatan Aenose kemudian menggunakan percobaan dua jenis sensor gas yakni sensor TGS dan sensor MQ yang memakan waktu sekitar enam bulan. Setelah melalui tahap pengujian, instrumen Aenose berbasis sensor gas MQ yang akhirnya sukses hingga publikasi.
Pada akhir, guru besar biofisika ini mengungkap alasan Aenose hingga sekarang belum diproduksi secara luas, yakni karena minimnya respon pasar industri. Padahal, keberadaan alat deteksi kualitas daging ayam penting untuk mengetahui kelayakan konsumsi sehingga ia berharap ke depan masyarakat dapat menerima inovasi tersebut.
“Saya harapkan pasti ada orang yang memang menjunjung tinggi kepercayaan konsumen itu yang utama sehingga alat untuk deteksi kualitas bahan pangan tentu sangat dibutuhkan. Kita juga ingin menghasilkan alat yang portabel dan mudah di dalam pengujiannya agar nanti bisa dipakai oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau,” pungkas Astuti. (*/red)
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.