Media Sosial, Dampak Terhadap Komunikasi dan Emosi Generasi Muda

Yovie Wicaksono - 11 August 2023

SR, Surabaya – Perkembangan teknologi digital tentu membawa perubahan dalam masyarakat, terlebih dengan hadirnya media sosial. Hingga Januari 2023, jumlah pengguna media sosial di Indonesia tercatat mencapai 167 juta orang. Jumlah ini setara 78 persen dari jumah total pengguna internet di Indonesia yang mencapai 212,9 juta.

Hal tersebut membuktikan bahwa media sosial merupakan platform yang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Adapun media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia adalah WhatsApp, Instagram, Facebook,TikTok, Telegram, Twitter, hingga Facebook Messenger.

Data ini sejalan dengan hasil survei yang di lakukan Super Radio kepada 55 responden di kawasan Surabaya, Sidoarjo dan Gresik dengan rentang usia 17 – 25 tahun pada 20-24 Juni 2023. Rerata dari mereka menggunakan media sosial Instagram, WhatsApp, TikTok, Twitter, hingga Facebook.

Dari survei tersebut, sebanyak 49,1 persen responden menghabiskan lebih dari 4 jam dalam sehari untuk berselancar di dunia maya. Lalu 23,6 persen responden menghabiskan 1-2 jam per hari menggunakan media sosial, serta 20 persen responden menghabiskan 3-4 jam per hari untuk bermedia sosial, dan 7,3 persen responden menggunakan media sosial dengan durasi kurang dari satu jam per hari.

Adapun tujuan mereka menggunakan media sosial diantaranya untuk mencari informasi terkini, mencari hiburan dan inspirasi, serta tetap terhubung dengan rekan yang jauh dari jangkauan dan menambah teman baru, hingga mengisi waktu luang.

Menariknya, berdasarkan hasil survei menunjukkan, sebanyak 46 persen responden, rileks setelah menggunakan media sosial, sementara 39 persen diantaranya justru merasa sensitif dan sisanya tidak merasakan emosi apapun.

Adapun salah satu emosi sensitif yang dirasakan responden adalah tersinggung dengan postingan orang lain. Dimana sebanyak 20 responden merasa sering tersinggung dengan postingan orang lain, lalu 9,1 persen merasa sangat sering tersinggung, 36,4 persen mengaku jarang tersinggung, dan 34,5 persen tidak pernah tersinggung.

“Postingan yang membuat saya tersinggung misalnya status WhatsApp orang dikenal berupa kata-kata yang seolah-olah mengomentari atau sedang ngomongin saya. Kalau update di medsos lain seperti Instagram atau Facebook jangkauannya lebih luas jadi kurang merasa tersinggung. Sementara kalau WhatsApp lebih privat dan sebagain besar emang bener-benar kenal,” ujar Shel, salah satu responden.

“Postingan yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Contohnya, pada saat itu orang tersebut sedang berselisih dengan kita karena permasalahan waktu. Kemudian orang tersebut tidak lama memposting sebuah postingan yang menyinggung soal waktu,” kata AO (inisial responden).

Postingan lain yang membuat responden merasa tersinggung diantaranya adalah body shamming, ujaran kebencian terhadap seseorang, postingan yang bersifat defensif dengan kata-kata kasar, adanya unsur rasis dan diskriminatif. Termasuk konten flexing atau pamer kekayaan, hingga postingan kesuksesan yang belum bisa digapai responden.

“Salah satu postingan yang membuat saya mengalami emosi negatif adalah pamer dengan menyinggung,” kata Anggita.

Dari hal tersebut, sebanyak 37 persen responden mengaku emosi negatif seperti tersinggung setelah menggunakan media sosial memengaruhi relasi di kehidupan nyatanya. Kemudian 15 persen merasa tidak terlalu berpengaruh dengan kehidupan nyatanya dan 48 persen mengaku tidak berpengaruh pada kehidupan sehari-harinya.

Sebanyak 76 persen responden berpendapat bahwa lingkungan eksternal diri dapat memengaruhi emosinya. Lalu 13 persen menganggap tidak berpengaruh dan 11 persen sisanya merasa biasa saja.

Untuk mengatasi hal tersebut, 34,5 persen responden merasa memerlukan bantuan orang terdekat dalam mengelola emosi mereka.

Kemudian 14,5 persen dari mereka merasa memerlukan bantuan psikolog, lalu 1,8 persen responden memerlukan bantuan guru spiritual, dan sisanya 49,1 persen responden merasa tidak memerlukan bantuan orang lain untuk mengelola emosinya.

Media Sosial dan Pergeseran Kultur Komunikasi

Ilustrasi. Foto : (Freepik)

Pakar Komunikasi Digital Universitas Airlangga (Unair), Rachmah Ida mengatakan, saat ini merupakan era komunikasi yang termediasi. Dimana media sosial menjadi perantara utama manusia dalam berkomunikasi dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran kultur komunikasi.

“Budaya komunikasi itu berubah semuanya. Kalau dulu komunikasinya dengan bertatap muka, sekarang media sosial menjadi perantaranya. Dengan media sosial, budaya komunikasi bertutur itu bergeser dan digantikan oleh visual communication. Misal mau bilang terima kasih, tidak perlu kita ketikkan lagi, kita tinggal kasih sticker atau emoticon sudah bisa,” ujar Ida.

Hal ini memiliki risiko terjadinya misinterpretasi atau salah paham, mengingat banyaknya makna yang tersirat dalam suatu pesan di media sosial. Terlebih, setiap manusia tidak memiliki pengalaman dan kerangka referensi yang sama. Ditambah dengan derajat literasi dari setiap orang yang berkomunikasi itu berbeda.

“Bayangkan, saya membuat status di media sosial dan ada yang lihat, lalu tersinggung. Apa hubungannya coba. Orang mengira bahwa status saya itu untuk menghantam dia, padahal tidak. Ya itu terjadi misinterpretasi,” katanya.

Ida mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan Komunikasi Unair selama masa Covid-19, menunjukkan banyak anak muda yang mengalami mental illness, seperti anxiety karena mereka melihat status temannya.

“Mereka tidak bisa begini dan begitu, tapi temannya bisa. Jadi ada ke irian dan kecemburuan. Padahal orang yang mengunggah status itu tidak ada niatan apa-apa, asal saja,” sambung Ida.

Untuk itu, Ida mengatakan, memang benar dalam bermedia sosial, individu tidak dapat mengontrol emosi orang lain terhadap postingan seseorang. Namun mereka bisa memilih dan memilah hal apa yang memang layak untuk dibagikan di sosial media. Intinya adalah bijak dalam menggunakan media sosial.

“Misalnya kita mau posting quotes, ditambahi kalimat self reminder. Mereka akan paham bahwa postingan itu untuk mengingatkan diri kita sendiri, bukan untuk menyinggung orang lain, itu contoh kecil yang bisa kita lakukan,” ujarnya.

Disisi lain, Ida menambahkan, perlu adanya peningkatan literasi digital, lalu membatasi informasi mana yang diperlukan dan tidak, informasi apa yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain atau justru merugikan. Kemudian membuka lagi ruang-ruang komunikasi langsung dengan bertatap muka dan memanfaatkan waktu perjumpaan sebaik dan seefektif mungkin.

“Karena kalau kita lihat kenapa kok banyak yang bergantung pada media sosial, salah satunya karena sumber-sumber komunikasinya tertutup, misal saat bertemu keluarga atau teman, semuanya sibuk dengan gadget dan media sosialnya. Ini kan percuma. Akhirnya mereka larinya ke situ. Patah hati, jatuh cinta, marah, ceritanya ke media sosial,” kata Ida.

Ia menegaskan, media sosial memiliki fungsi sebagai media jejaring yang tetap diperlukan. Namun yang harus dilakukan agar bijak bermedia sosial adalah perlunya filtering information. “Kita cari informasi yang kita butuhkan saja, diluar itu kita abaikan. Kita mengaloksikan waktu untuk berkomunikasi langsung. Saat berkumpul, batasi media sosial kita,” tegasnya.

Media Sosial dan Dampak Emosinya Bagi Manusia

Hadirnya media sosial memberikan banyak hal baru yang menarik untuk dijelajahi. Banyak orang bisa membagikan momen dalam hidupnya, keseharian, hingga berbagai informasi yang dapat tersebar dengan cepat. Sayangnya, ditengah banyaknya manfaat, media sosial juga berdampak buruk pada sisi emosional.

Dosen Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) Michael Seno Rahardanto mengatakan, keberadaan media sosial yang terbilang baru cenderung mengubah kebiasaan manusia dari beraktivitas di dunia nyata ke dunia maya.

Hal inilah yang memicu munculnya banyak emosi dalam diri manusia. Seperti diketahui ada sekira 6 jenis emosi dalam dari manusia, yakni bahagia, sedih, marah, takut, terkejut, hingga jijik. Dan sejak media sosial muncul, orang akan cenderung merasakan satu jenis emosi yakni marah yang berawal dari tersinggung ataupun insecure. Bahkan pada kasus tertentu, perasaan tersebut bisa termanifestasi dengan tindakan di dunia nyata.

“Media sosial itu kan anonim ya, merasa identitas kita aman, dan kekuatan psikologi massa membuat kita merasa tidak sendirian misalnya di twitter, ada orang salah komentar dan langsung dihujat netizen, nah psikologi massa itu berperan disitu,” ujarnya.

Terjadinya efek tersebut, kata Danto, disebabkan pada belum matangnya pengendalian mental dalam diri. Mereka akan menganggap akun yang dimiliki sebagai dirinya dalam bentuk lain sehingga tak ada batasan emosional antara dunia maya dan dunia nyata.

“Ketika orang melihat postingan di media sosial itu seringkali tidak tahu latar belakangnya, jadi dia mengira-ngira sendiri. Maka yang sering terjadi adalah tersinggung, karena manusia itu adalah makhluk yang selalu mencari pembenaran jadi dia akan mengira-ngira sesuai pengalamannya yang bisa jadi tidak sesuai dengan konteks sebenarnya dari postingan itu,” jelasnya.

Ini juga didukung dengan sikap manusia yang cenderung mencari pembenaran, sehingga akan memaknai postingan orang lain sesuai dengan pengalamannya. Misal, ketika seseorang mengunggah kata-kata tertentu, bisa jadi ada orang yang tersinggung dengan hal tersebut.

“Nah karena tidak ada konteks itu, orang kemudian terpaksa membuat konteks sendiri jadi postingan temannya itu dia frame dalam kerangka berfikirnya yang bisa jadi sudah ada rasa jengkel atau hal-hal yang berat sebelah. Sehingga gak heran, kalau postingan orang tertentu yang sebetulnya sama sekali tidak bermaksud menyinggung tapi bagi sebagian orang itu dirasa seolah mengejek,” tuturnya.

Maka, tak jarang postingan pencapaian, prestasi, ataupun momen bahagia seseorang justru menjadikan orang lain insecure ataupun tersinggung. Terlebih pada rentang usia 17 tahun keatas. Dimana fase peralihan dari remaja menuju dewasa tersebut adalah masa pencarian identitas yang menjadikan diri lebih sensitif dan terpengaruh pada isu-isu yang terjadi di sekelilingnya.

“Ini karena beberapa hal. Yang pertama, mayoritas pengguna media sosial memang di rentang usia itu, di rentang usia segitu juga sebenarnya masih dalam fase pembentukan identitas sosial. Akhirnya karakter kelompok usia itu lah yang biasanya paling rentan dipengaruhi oleh media sosial terutama pada medsos yang tujuannya hanya untuk sharing gambar, postingan,” tuturnya.

Untuk itu perlu adanya pengendalian diri dalam bermedia sosial. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yakni keluar dan kedalam. Untuk sisi luar adalah dengan mendisiplinkan diri, mengatur batas waktu antara bermain media sosial dan beraktivitas sosial di dunia nyata.

“Ketika melihat postingan yang mentriger perasaan kita, itu harus selalu diingat bahwa kita gak tahu konteks itu menulis untuk apa, belum tentu konteksnya sama dengan bayangan kita, karena yang sering terjadi adalah kita selalu memaknai sesuai pengalaman kita sendiri yang belum tentu sama dengan orang itu,” terangnya.

Sedangkan pada sisi dalam adalah dengan menanamkan pemikiran bahwa media sosial hanya menampilkan sisi terbaik seseorang dan apapun yang diunggah seringkali tentang diri sendiri bukan personal orang lain, sehingga tak perlu merasa insecure ataupun tersinggung.

“Jadi jangan mudah mengasumsikan sendiri, orang itu cenderung menulis apa yang baik menurut dirinya jadi cenderung apa yang ada di media sosial adalah tentang diri sendiri bukan tentang kita secara personal,” lanjutnya.

Selain itu, bisa juga menerapkan teknik coping yakni upaya mengubah perilaku dan kognitif dari individu secara konstan untuk mengendalikan tuntutan secara internal dan eksternal secara spesifik, yang dinilai sebagai beban atau suatu hal yang melebihi kemampuan dari seseorang dalam menerima tekanan.

Ada dua teknik coping yang bisa digunakan yakni problem focused coping dan emotional focused coping. Problem focused coping adalah upaya menyelesaikan masalah yang masih dalam batas kontrol manusia secara langsung. Misal, pada masalah komunikasi ataupun media sosial.

Sedangkan emotional focused coping dapat diterapkan ketika menghadapi masalah yang diluar batas kemampuan manusia, seperti ketika ada bencana, kematian orang terdekat, ataupun kecelakaan. Jika berada dalam situasi tersebut maka yang bisa dilakukan adalah menerima emosi tersebut dan berusaha ikhlas menghadapinya.

“Nah kalau orang lebih cenderung nerima dan sabar itu berarti ke emotional focus coping jadi bisa mengelola emosinya sendiri tapi problemnya tetap ada, gak tertangani. Banyak penelitian menunjukan, kalau problemnya itu sesuatu yang sebetulnya dalam kontrol manusia bisa dikendalikan, problem focus coping itu jauh lebih bagus daripada sekadar diam pasrah,” pungkasnya. (hk/fos/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.