Istimewa, Prasasti Wurare di Arca Joko Dolog Bisa Dilagukan

SR, Surabaya – Prasasti Wurare atau yang lebih dikenal dengan Arca Joko Dolog memiliki nilai sejarah yang penting dalam memahami legitimasi kekuasaan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari.

Prasasti yang berada di Jl Taman Apsari, Genteng, Surabaya ini menjadi cerminan dari hubungan erat antara kekuasaan, agama, dan budaya dalam menciptakan stabilitas di wilayah yang penuh dengan konflik.
Juan Steven Susilo, seorang epigraf, menerangkan secara garis besar, Raja Kertanegara dikenal sebagai pemimpin yang mendapatkan pencerahan dan diasosiasikan dengan ajaran Buddha. “Raja tersebut mempersatukan dua wilayah (Jenggala dan Panjalu) yang bermusuhan dan berperang. Pemisahan wilayah itu atas peran Mpu Bharada atas perintah Raja Airlangga,” kata Juan saat menjadi pembicara pada Komunitas Pegiat Aksara Jawa Kuna “AjaKami” di Surabaya.
Dijelaskan, Kertanegara mengambil citra Mpu Bharada, yang seorang Buddhis, dengan mengarcakan diri sebagai Sang Maha Akshobhya. Hal itu memperkuat klaim Raja Kertanegara tentang dirinya sebagai pemimpin yang mendapatkan mandat spiritual untuk menyatukan wilayah Jenggala dan Panjalu. Dengan cara ini, ia tidak hanya menciptakan legitimasi politik tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin yang dipilih secara spiritual. Langkah ini terbukti efektif dalam mengubah pola pikir masyarakat dan mengakhiri konflik antar wilayah.
Miliki Struktur Tulisan Unik
Prasasti Wurare memiliki karakteristik unik dibandingkan prasasti lainnya. Posisi tangan arca Joko Dolog yang menggambarkan bhumisparsa mudra, dimana tangan kanan menelungkup di atas lutut, sedangkan tangan kiri berada di atas pangkuan. “Posisi tangan bhumisparsa mudra bisa dimaknai bahwa Kertanegara memanggil bumi sebagai saksi atas usahanya dalam menyatukan wilayah yang terpecah,” urai Juan.
Selain itu, ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan aksara Kawi atau Jawa Kuno, prasasti ini menggunakan metrum atau nada yang seragam, yaitu anustubh. Hal ini menunjukkan adanya elemen pujian dan glorifikasi terhadap Raja Kertanegara.

Arkeolog lulusan Universitas Udayana itu menambahkan, “Uniknya, prasasti Wurare adalah prasasti yang ada metrumnya (nadanya). Nadanya semuanya sama, anustubh. Bahasanya Sanskerta, terus tulisannya pakai aksara Kawi atau aksara Jawa Kuno. Memang di sini terdapat glorifikasi dan sistem penulisan yang berbeda dari prasasti lainnya,” paparnya.
Keunikan penulisan dari prasasti Wurare adalah penempatan pujian terhadap raja berada di bagian awal inkripsi, sementara informasi tahun diletakkan di bagian akhir.
“Dalam prasasti wurare, Kertanegara ingin adanya legitimasi itu, makanya pujian pujian ditaruh di depan sedangkan tahunnya ditaruh di belakang. Karena legitimasinya itu yang ingin disematkan dan ditonjolkan bahwa ia itu bisa menyatukan kedua wilayah. Kalau yang ditaruh di awal itu tahunnya, maka rasanya agak kurang nyambung ketika diasosiasikan dengan arcanya ini,” analisis Juan.
Arca Dibuat Begitu Sederhana?
Meskipun arca Joko Dolog dibuat untuk menggambarkan seorang raja, namun desainnya relatif sederhana, bahkan seakan dibuat oleh orang yang baru memahat patung. Arca Kertanegara hanya digambarkan sebagai sosok rahib berkepala gundul dan berbadan besar.
Menurut Juan, hal ini sengaja dilakukan untuk mencerminkan filosofi Buddha yang menolak hal-hal keduniawian. Namun, terdapat perbedaan penting antara arca seorang raja yang diasosiasikan dengan Buddha dan arca seorang petapa. “Pada arca Joko Dolog, tidak ditemukan simbol ‘keong’ di kepala, sementara simbol ‘keong’ biasanya terdapat pada arca seorang petapa,” tegasnya.
“Ada maksud dari kesederhanaan arca ini, sementara Kertanegara adalah seorang raja. Karena ia ingin mengambil konsep Buddhanya itu sendiri. Karena Buddha, mereka kan sudah tidak memikirkan hal-hal keduniawian,” imbuh Juan.
Kesederhanaan ini juga menegaskan statusnya sebagai bangsawan, yang berbeda dari para petapa yang hidup dekat dengan alam. Ketika arca seorang raja dibuat, elemen-elemen yang terlalu dekat dengan alam dihilangkan untuk menonjolkan peran raja sebagai pemimpin yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritual tetapi tetap berada di dalam lingkup kekuasaan duniawi.
Arca Joko Dolog Kehilangan Asosiasinya
Sayangnya, konteks penempatan asli arca Joko Dolog hilang akibat kurangnya dokumentasi yang presisi dari pihak Belanda. Selama masa kolonial, arca ini dipindahkan ke Surabaya tanpa informasi rinci mengenai arah penempatan maupun lokasi aslinya. Hal ini menjadi tantangan dalam memahami konteks keruangan arca tersebut, yang seharusnya dilihat dalam kaitannya dengan simbolisme agama dan politik pada masa itu.
Kisah pemindahan arca ini juga diwarnai oleh cerita supranatural. Juan Menjelaskan, “Arca Joko Dolog bisa ada di Surabaya karena dipindah oleh Belanda. Ketika diangkut di peti kemas, itu tak bisa naik dan kapalnya macet. Orang Belanda yang tidak percaya dengan hal supranatural, mereka cek mesin kapal normal. Ketika arca ini diturunkan, itu bisa jalan,” jelasnya.
Arca Joko Dolog dan prasasti Wurare menjadi bukti penting dalam memahami peran Mpu Bharada dan Raja Kertanegara dalam sejarah Nusantara. Prasasti Wurare dan Prasasti Turunhyang adalah dua sumber utama yang menyebutkan peristiwa pembagian kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala dan Panjalu oleh Mpu Bharada.
“Dari kejadian (mistis) itu ya kita bersyukur untungnya arca ini tidak ke luar negeri. Karena arca ini menjadi data penting yang menjelaskan bahwa Si Mpu Bharada itu memang benar-benar membelah kerajaan menjadi dua. Soalnya prasasti yang menyebutkan itu cuma dua, prasasti Turun Hyang yang ada di pusat informasi Majapahit dan prasati Wurare ini,” pungkas Juan. (nio/red)
Tags: Joko Dolog, prasasti wurare, superradio.id, surabaya
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.