Media Sosial Masih Jadi Sarana Perdagangan Satwa Liar

SR, Surabaya – 4 ekor bayi lutung jawa (Trachypithecus auratus) diamankan petugas Gakkum Seksi II Jawa Timur Kementerian LHK, Center for Orangutan Protection (COP), dan Animals Indonesia, dari seorang pelaku yang akan memperdagangkan bayi lutung jawa ini.
Pelaku beserta barang bukti diamankan di depan Stasiun Kereta Api Lawang, Malang, Jumat (6/1/2017), yang selanjutnya dibawa ke Mapolsek Lawang. Sedangkan barang bukti 4 ekor bayi lutung jawa dibawa ke Javan langur Center di Batu, untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan.
“Pelaku diamankan dan di BAP (berita acara penyelidikan) di Polsek Lawang,” kata Ramadhani, Direktur Operasional Centre for Orangutan Protection.
Dari 4 ekor lutung jawa, 3 ekor berjenis kelamin betina, dan 1 ekor jantan. 2 ekor berusia sekitar 1 bulan dan 2 lainnya berusia sekitar 3 bulan.
“Sudah diperiksa di JLC dan semua dalam kondisi baik dan sehat,” imbuh Ramadhani.
Media sosial berupa facebook menjadi masih menjadi tempat atau sarana jual beli satwa liar, termasuk oleh pelaku yang memakai nama Setan Merah pada akun facebooknya. Menurut Ramadhani, dimanfaatkannya sosial media untuk jual beli satwa karena dianggap sebagai tempat yang aman dan sulit dilacak, dibandingkan bila berjualan di pasar burung atau pasar satwa.
“Mereka biasanya buat akun untuk jual beli karena lebih aman, kalau terlacak akunnya bisa ditutup lalu buka akun baru,” imbuhnya.
Media sosial sampai saat ini masih menjadi sarana perdagangan satwa liar yang sulit dikendalikan, karena pelaku perdagangan satwa bersifat sangat tertutup. Hal ini berbeda dengan perdagangan satwa secara konvensional melalui pasar burung.
“Ini tidak dapat dilepaskan dari komunitas pecinta satwa yang banyak bermunculan, menggunakan grup tertutup seperti WA atau BBM. Harusnya Facebook bisa melakukan pentupan akun-akun yang dijadikan tempat perdagangan satwa liar,” ujarnya.
Pemerintah juga didesak untuk segera merevisi Undang-undang No. 5 Tahun 1990, karena tidak memberi efek jera bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar.
“Undang-undang No 5 tahun 1990 harus segera direvisi, hukuman minimal harus diterapkan, bukan hukuman maksimal,” tambahnya.
Jawa Timur masih menjadi tempat yang aman bagi pelaku perdagangan satwa liar dilindungi. Selama 2016 COP bersama Animals Indonesia serta aparat penegak hukum terkait, telah menangkap 9 pelaku perdagangan satwa liar, yang semuanya telah menjalani persidangan di pengadilan.
Sampai akhir tahun 2016, terdeteksi ada 56 orang dalam satu kelompok yang melakukan aktivitas perdagangan satwa liar. Komunitas ini saling menawarkan satwa yang dibutuhkan atau dicari oleh pembeli, melalui pertemuan tertutup dalam kelompok itu.
“Yang susah kalau ketemunya kelompok kecil-kecil, kadang kita susah melacaknya,” kata Suwarno, Direktur Animals Indonesia.
Banyaknya pelaku perdagangan satwa berkedok pecinta satwa dipengaruhi pula oleh tingginya permintaan satwa liar khususnya primata di Jawa Timur. Pedagang memasok satwa yang dipesan melalui pemburu yang banyak beroperasi di kawasan konservasi dan hutan lindung di Probolinggo, Jember dan Banyuwangi.
“Jawa Timur masih menjadi kantong perburuan dan perdagangan satwa liar, karena disini masih banyak hutan dan kawasan konservasi,” ujarnya.
Pengawasan yang lemah pada kawasan yang menjadi tempat perburuan satwa liar, dianggap sebagai salah satu penyebab masih banyaknya aktivitas perburuan. Ditambah lagi minimnya personil polisi hutan yang bertugas mengawasi kawasan konservasi.
“Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan, karena selama ini masyarakat belum peduli dengan satwa dan lingkungannya,” lanjut Suwarno.
Animals Indonesia mendorong polisi untuk meningkatkan pengawasan, pada jalur-jalur yang dipakai untuk mendistribusikan satwa liar dilindungi.
“Pengawasan di jalur distribusi juga harus diperketat, karena intensitas perdagangan satwa di Jawa Timur ini cukup tinggi,” pungkasnya.(Ptr/Red)
Tags: lutung jawa, satwa
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.