Arca Dewi Sri, Simbol Akulturasi Jawa-Tionghoa di Klenteng Cokro Surabaya

Rudy Hartono - 24 January 2025
Rupang Eyang Putri Dewi Sri memakai baju khas etnis tionghoa berwarna kuning dengan hiasan kepala. Rupang itu dijadikan satu dengan beberapa dewa lainnya, di dalam lemari kaca khusus di Klenteng Hong San Koo Tee , Jalan Cokroaminoto, Surabaya, Kamis (23/1/2025).(foto:hamidiah kurnia/superradio.id)

SR, Surabaya – Ada yang unik ketika mengunjungi Klenteng Hong San Koo Tee di Jalan Cokroaminoto, Kelurahan Dr Soetomo, Kecamatan Tegalsari, Surabaya.

Jika biasanya klenteng identik dengan patung atau rupang dewa-dewi yang disembah umat tri dharma, Klenteng Cokro justru menghadirkan patung khas budaya jawa. Nama patung itu adalah Dewi Sri, sesembahan masyarakat jawa yang disebut juga Dewi Padi, lambang kemakmuran.

Selain patung Dewi Sri, Klenteng Hong San Koo Tee , Jalan Cokroaminoto, Surabaya, juga menempatkan patung sosok spiritual Jawa yakni Sang Hyang Manikmoyo, dan Sang Hyang Ismoyo di dalam lemari kaca khusus. (foto:hamidiah kurnia/superradio.id)

Terletak di sisi kanan area klenteng, Dewi Sri ditempatkan di ruangan khusus, berjajar dengan patung Sang Hyang Ismoyo dan Sang Hyang Manikmoyo yang berada di lemari kaca altar.

“Memang kita taruh disini, ditaruh di lemari kaca bersama dewa lainnya, namanya Eyang Putri Dewi Sri. Tahun lalu ruangan ini dicat, dikhususkan di ruangan ini,” kata Erdina Tedjaseputra, pengurus Klenteng Erdina Tedjaseputra, Kamis (23/1/2025).

Dua arca dwarapala di kiri-kanan pintu khusus menuju ruangan tempat patung Dewi Sri, Sang Hyang Manikmoyo, dan Sang Hyang Ismoyo berada di Klenteng Cokro Surabaya, Kamis (23/1/2025).(foto:hamidiah kurnia/superradio.id)

Bukan tanpa alasan. Erdina menyebut asal-usul penempatan Dewi Sri diawali saat pembangunan klenteng. Konon kala itu, sekira tahun 1970 para pendiri mendapat mimpi aneh dan setelahnya ditemukan batu patung Dewi Sri disana.

Sejak saat itu, lambang kemakmuran tersebut diberikan tempat khusus yang identik dengan budaya jawa. Mulai dari ukiran, hiasan, hingga dua arca dwarapala di pintu masuk.

“Kalau (arca) Dewi Sri tahun tahun 70an sudah ada. Jadi waktu bangun klenteng ada batu di mimpiin ada Dewi Sri, semuanya kita rawat,” imbuhnya.

Erdina Tedjaseputra, salah satu pengurus Klenteng Klenteng Cokro Surabaya, Kamis (23/1/2024) (foto:hamidiah kurnia/superradio.id)

Tak berhenti disitu. Penggabungan budaya jawa dan tionghoa juga tampak dari baju yang dikenakan Dewi Sri. Tampak patung Dewi Sri memakai baju khas etnis tionghoa berwarna kuning dengan hiasan kepala.

Tiap Jumat Legi juga diadakan tasyakuran dan tumpengan sebagai bentuk penggormatan pada para dewa dewi kearifan lokal. Para jemaah pun dipersilahkan menaruh tumpeng di ruangan khusus tersebut. “Semuanya kita rawat. Untuk Dewi Sri tiap Jumat Legi kita selametan, kita tumpengan,” jelasnya.

Seluruhnya, lanjut Erdina, dilakukan sebagai bentuk akulturasi budaya. Ia berharap hal itu dapat menguatkan rasa kerukunan dan solidaritas antar sukur, ras dan umat beragama di Surabaya.

“Harapannya untuk menumbuhkan kerukunan dan solidaritas tetap terjaga. Kita kalau pas puasa juga ada bagi-bagi takjil,” pungkasnya. (hk/red)

Tags: , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.