Kisah PMI Bringinan, Sukses Berawal dari Komitmen

Yovie Wicaksono - 2 January 2023
Suparno, warga Desa Bringinan, Kabupaten Ponorogo saat merekap daftar pesanan gorong-gorong usaha miliknya. Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

SR, Ponorogo – Desa Bringinan, Kabupaten Ponorogo menjadi salah satu penyumbang Pekerja Migran Indonesia (PMI). Masyarakat setempat memilih Malaysia dan Taiwan sebagai tempat merantau.

Beberapa warga setempat yang berhasil ditemui Super Radio menceritakan pengalaman mereka selama bekerja di luar negeri dan kondisi saat ini. Salah satunya adalah Suparno yang pernah bekerja di Taiwan dalam kurun waktu 3 tahun, mulai 1998 – 2001.

Anak terakhir dari 5 bersaudara ini memutuskan bekerja di luar negeri lantaran kondisi perekonomian keluarga yang tidak baik. Bermodal tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Suparno berangkat dengan modal 20 juta yang dipinjam dari kakaknya untuk bekerja di pabrik keramik di kawasan Zhongli, Kota Taoyuan, Taiwan.

Dalam sebulan, pria kelahiran 1977 ini mendapat upah sekira 3 – 4 juta rupiah. Upah tersebut dikumpulkan untuk membayar pinjaman ke kakak, modal menikah, membangun rumah di desa dan sebagai modal membuka usaha di Indonesia. 

“Tentu senang rasanya karena tiap bulan mendapat gaji, mengingat betapa susahnya dulu saat masih di desa, penghasilan yang tidak menetap. Sebelum menjadi PMI itu saya kerja di pasar hewan Babadan ke Dolopo bawa 4-5 sapi jalan kaki sekitar 7-8 kilometer. Digaji Rp 5000 per satu ekor sapi,” ujar warga asli Desa Bringinan ini.

Suparno dan Susana, sepasang suami istri mantan PMI di Taiwan yang sukses memiliki usaha sendiri di Ponorogo. Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

Di tahun kedua, Susana yang saat itu masih berstatus sebagai kekasih, menyusul Suparno bekerja di Taiwan. Mereka berkomitmen mengumpulkan modal bersama. 

Susana yang saat itu berusia 20 tahun, bekerja di sektor domestik di Kota Kaohsiung, Taiwan dengan upah 4 juta rupiah per bulan. Upah itu kemudian dipotong oleh agen selama satu tahun. 

“Saya berangkat dengan modal Rp 2 juta saat itu,” jelas Susana. 

Setelah berhasil melunasi hutang dan mengumpulkan modal lain, di tahun 2001 Suparno dan Susana kembali ke tanah air untuk menikah dan mulai membuka usaha bersama.

Bermodal keahlian menyetir dan uang 60 juta rupiah hasil bekerja di Taiwan, pada 2002, Suparno membeli satu truk untuk memulai usaha persewaan angkutan material mulai dari pasir, batu, hingga mengangkut barang dagangan. Satu hari, ia bisa mengantar ke 3-4 titik dengan biaya 50 ribu rupiah sekali jalan.

“Kenapa pilih usaha itu ya karena dulu di daerah sini masih belum ada yang menyewakan mobil angkutan dan itu menjadi peluang usaha untuk saya. Alhamdulillah masih jalan sampai sekarang persewaannya,” ujar Suparno.

Seiring berkembangnya waktu, kini untuk sekali jalan tarif sewa truk sudah mencapai 200 ribu rupiah. Armada yang dimiliki Suparno juga bertambah, yakni dua mobil jenis pick up yang juga di sewakan. 

Selain menyewakan truck dan pick up, sebelumnya Suparno juga menyewakan satu selep padi dan tiga molen (pengaduk semen) mini sejak 2006. Namun, setelah 15 tahun, karena kondisi tertentu, ia memilih menjual dua molen mini tersebut. 

Suparno dan Susana juga terus mengembangkan usahanya. Sejak 2016, mereka membuka usaha produksi batako dan gorong-gorong dengan berbagai ukuran. Total sudah ada dua karyawan yang dipekerjakan. Sedangkan Susana, mendapat bagian mengelola usaha toko kelontong untuk mengisi kesibukan sehari-hari. Dari usaha tersebut, Suparno memiliki omset bersih 5 juta rupiah per bulan. 

Meski secara nominal tak jauh berbeda dari hasil yang didapatkannya saat menjadi PMI di Taiwan, mereka tetap mensyukurinya.

“Saya tetap memilih bekerja di sini, karena bisa kumpul dengan keluarga, usaha juga bisa berkembang terus. Karena kalau bekerja di luar negeri dapat gaji besar tapi di kampung gak ada usaha pasti lama-lama akan habis. Makanya selalu putar otak untuk mencari peluang usaha, bagaimana bisa terus mengembangkan usaha,” kata Suparno.

“Tetap disyukuri, ulet, dan telaten pasti akan berhasil. Bangganya kan juga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain, meskipun tidak banyak,” sambungnya.

Jejak Suparno dan Susana menjadi PMI, ternyata juga diikuti anak pertama mereka yang kini berusia 20 tahun. Di tahun 2023, anak mereka bekerja pada salah satu pabrik papan di Jepang setelah mengikuti seleksi pemagangan yang diadakan oleh pemerintah.

Suparno dan istri tak bisa memaksakan kehendaknya kepada sang anak untuk tak pergi merantau. “Meski berat, tapi alhamdulilah  sudah ada Peraturan Desa (Perdes) Pelindungan PMI. Jadi kalau ada apa-apa, dari desa ada bantuan hukum, ada perlindungan untuk anak kami yang nantinya akan merantau ke luar negeri. Kalau dulu kan tidak ada, jadi kalau ada apa-apa ya tanggung jawab sendiri,” ujar Suparno.

Burhanuddin, warga Desa Bringginan yang juga mantan PMI di Malaysia tak mau kalah menceritakan kisahnya. 

Senasib dengan Suparno, Burhanuddin berangkat ke Malaysia akibat kondisi ekonomi keluarga yang membuatnya tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia berangkat di tahun 1986, bersama 15 orang lainnya asal Ponorogo untuk mengumpulkan modal usaha.

Pengalaman pahit yang dialami pria kelahiran 1968, saat bekerja di perkebunan adalah tak mendapatkan gaji selama 2 bulan. Hal itu membuatnya memakan apa saja yang ada di hutan demi bisa bertahan hidup. 

“Dulu kalau ada apa-apa ya kita tanggung sendiri, tapi untungnya sekarang di Desa Bringinan ada Perdes yang bisa melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Jadi ada perhatian, tanggung jawab desa kepada warganya. Tidak seperti saya dulu,” kata Burhanuddin.

Tak mau terlalu tergiur dengan kehidupan di negeri jiran, Burhanuddin terus mengingat tujuan awalnya bekerja, yakni mencari modal untuk usaha sendiri di tanah air. 

“Saya tidak mau keenakan di luar negeri terus lupa tujuan awalnya, akhirnya setelah sekitar 2 tahun setengah saya di sana mengumpulkan modal, saya pulang ke Indonesia,” ujar bapak dua anak dan satu cucu ini.

Bermodalkan 2 juta rupiah, ia membeli satu mesin pemotong kayu pada akhir tahun 1988 untuk membuka usaha jasa potong kayu keliling yang dilakoni hingga 2009. Dari modal awal ini, kemudian berkembang dan Burhanuddin bisa memiliki tiga mesin pemotong kayu. Selanjutnya, di 2012, ia mulai membuka usaha mebel dengan dua karyawan. 

Burhanuddin saat mengerjakan pesanan perabotan rumah tangga. Foto : (Super Radio/Nirwasita Gantari)

Kayu jati lokal, ia “sulap” menjadi berbagai jenis perabot rumah tangga mulai dari kursi tamu yang bisa dijual mulai dari 3,5 juta – 5 juta rupiah per set. Ia juga melayani pemesanan kusen, kandang, hingga pintu yang dijual dengan harga bervariasi.

Pelanggan Burhanuddin tak hanya dari Ponorogo, melainkan hingga kawasan Malang, Magelang, dan Yogyakarta.

“Dulu untuk promosi sempat lewat media sosial, tapi karena pesanan membludak sedangkan kita keterbatasan tenaga, akhirnya sekarang tidak menggunakan media sosial lagi,” ujarnya.

Burhanuddin bersyukur dengan apa yang didapatkan saat ini. Menurutnya, bekerja di tanah air jauh lebih baik dibanding bekerja di negara orang yang jauh dari keluarga.

“Bagaimana pun ya tentu lebih enak di negara sendiri, lebih nyaman, dekat keluarga, meskipun kalau di luar negeri gajinya besar. Tapi kan ikut orang, kalau ini usaha sendiri, bisa membantu sesama juga yang perlu pekerjaan,” pungkasnya. (fos/red)

Tags: , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.