Kasus Agraria Picu Konflik Sosial dan Kerusakan Lingkungan

Yovie Wicaksono - 13 April 2017
Aksi solidaritas untuk warga Kendeng di depan gedung DPRD Jawa Timur, juga menyuarakan pemerintah harus selesaikan konflik agraria (foto : Superradio/Srilambang)

SR, Surabaya – Puluhan aktivis lingkungan dan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria (Jelaga), berunjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Timur di Jalan Indrapura, Surabaya, Kamis (13/4/2017).

Mereka menyuarakan aspirasi mengenai penyelesaian persoalan agraria, yang menimbulkan menimbulkan  kerusakan lingkungan maupun konflik sosial yang mengorbankan rakyat kecil. Menurut Dion Mulder dari Serikat Mahasiswa Indonesia, persoalan agraria harus segera diselesaikan oleh pemerintah, bila tidak ingin ada korban jiwa seperti Salim Kancil pada kasus tambang pasir besi di Lumajang.

“Itu merupakan bukti pemerintah tidak peduli terhadap kepentingan rakyat kecil dan kelestarian lingkungan,” kata Dion.

Aksi ini juga merupakan solidaritas bagi perjuangan petani dan warga pegunungan Kendeng, yang menolak pembangunan pabrik semen di Rembang, yang mempertemukan petani dengan korporasi milik negara.

Dion Mulder mengatakan, penanganan konflik agraria yang tidak kunjung selesai akibat lemahnya penegakan hukum, serta tidak berpihaknya pemerintah pada petani dan masyarakat kecil.

“Pekerjaan pemerintah hari ini sama saja dari rezim-rezim sebelumnya, mereka cukup tidak mau tahu dengan persoalan agraria yang ada. Persoalan seperti di Rembang, lawan dari kawan-kawan petani ini kan ya korporasi, yang didukung oleh pemerintah,” terang Dion yang menyebut pemerintah kurang berpihak kepada rakyat.

Selain kasus tambang pasir besi di Lumajang, ada beberapa kasus tambang lain yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan, serta melibatkan aparat keamanan dan pemerintah di daerah.

“Pemerintahan harus segera menyelesaikan konfilk-konflik agraria yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Yang ada di Jember, Tumpang Pitu (Banyuwangi), serta tambang di pesisir selatan Jawa Timur,” ujar Dion.

Catatan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menyebutkan terdapat 127 kasus penyerobotan tanah rakyat dan kerusakan lingkungan. Selain itu juga ada kasus migas dan tambang mineral lain yang mengancam kelestarian lingkungan maupun berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat.

“Meningkatnya kasus-kasus ini tentu saja menjadi perhatian semua pihak, karena tiap tahun jumlah konflik tidak semakin mengecil tapi semakin meningkat, ini mungkin ada kesalahan memperlakukan alam,dan meregulasi pengelolaan sumber daya alam,” papar Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.

“Sampai sekarang kita masih melihat banyak sekali regulasi yang malah condong mengancam keselamatan lingkungan,” kata Rere.

Rere mencontohkan, rencana pembangunan nasional pada RPJMN, justru mendorong investasi besar-besaran di bidang pembangunan infrastruktur dan industri ekstraktif atau pertambangan.

“Pembangunan infrastruktur merampas tanah-tanah rakyat dan wilayah-wilayah lindung. Dorongan investasi di sektor ekstraktif, seperti pertambangan migas maupun mineral, menjadikan masyarakat berhadapan dengan kekuasaan,” tandas Rere.(ptr/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.