Joko Pethit: Ketika “Le Petit Prince” Jadi Orang Jawa

SR, Surabaya – Ada nuansa berbeda di auditorium Institut Français Indonesia (IFI) Surabaya pada Jumat (21/3/2025). Di antara bendera biru-putih-merah khas Prancis tampak gunungan wayang Jawa berdiri tegap. Di atas panggung, sebuah tulisan besar terbaca” Joko Pethit.” THE9ATRE, dengan keberanian dan kreativitasnya, menyuguhkan kisah klasik Prancis “Le Petit Prince” dalam balutan budaya Jawa yang kental.
Novel “Le Petit Prince” karya Antoine de Saint-Exupéry bukan sekadar buku biasa. Diterbitkan tahun 1943, buku fiksi kisah filosofis ini menyandang predikat sebagai salah satu buku terbaik abad ke-20 di Prancis.
“Le Petit Prince” menceritakan tentang seorang pangeran cilik yang mengembara dari asteroid ke asteroid ini. Isi buku klasik ini kemudian ditampilkan dalam sebuah drama oleh siswa-siswi SMKN 12 Surabaya. Perjalan “Le Petit Prince” disajikan dalam bahasa Jawa lengkap dengan busana khas, dari kebaya hingga udeng.
Sang sutradara, Harwi, mengaku telah lama terpikat oleh novel ini. “Di dalamnya banyak persoalan yang orang bilang “dulinmu kurang adoh”, kurang jauh berkelana, kurang jauh berpikir,” katanya. “Padahal, kisah ini justru bicara tentang perjalanan, bukan sekadar fisik, tetapi juga pemahaman akan kehidupan,” Lanjutnya.

Dari Prancis ke Tanah Jawa
Dalam pementasan ini, tokoh utama Pangeran Kecil digambarkan sebagai seorang anak dengan jubah merah khas kerajaan Prancis, namun dipadukan dengan udeng bermotif mega mendung. Ia bertemu dengan seorang pilot bernama Joko, yang mendarat dengan pesawatnya. Usai pertemuan itu, Sang Pangeran memulai perjalanannya ke berbagai asteroid, bertemu dengan karakter unik: bunga yang sombong, seorang raja yang angkuh, seorang pemabuk, saudagar kaya, petugas yang menyalakan dan mematikan lampu setiap hari, hingga sampailah di bumi dan bertemu ular naga kemudian bertemu seekor rubah (atau dalam versi Jawa disebut “garangan”) yang selalu mencoba menggoda sang pangeran.
Pementasan diakhiri dengan adegan dramatis ketika sang pangeran bertemu kembali dengan Joko, namun akhirnya menghembuskan napas terakhirnya setelah diserang oleh ular naga. Harwi menjelaskan, “Kisah ini penuh filosofi. Anak-anak belajar bahwa mengembara ke tempat jauh membawa banyak pengetahuan. Sementara bagi orang dewasa, ini adalah refleksi kehidupan tentang pasangan yang selalu menuntut. “Kan perjalanan seorang pilot, ia memiliki pasangan suka menuntut ini itu dan akhirnya sang pilot mengembara bertemu dengan rubah atau kita sebut garangan yang diinterpretasikan sebagai simpanannya. Ini juga banyak terjadi di relasi romantik orang dewasa pada masa ini,”paparnya.
Keputusan untuk membawakan cerita ini dalam bahasa Jawa adalah langkah berani. Dengan takarir dalam bahasa Inggris, pertunjukan ini tetap bisa dinikmati oleh audiens yang lebih luas. “Karena bahasa Jawa yang sangat ekspresif dan banyak kosakatanya mampu diwujudkan dalam teater maka akan lebih mengena,” jelas Harwi. “Kearifan lokal Jawa pun sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ‘Le Petit Prince’, tentang persahabatan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap yang lebih tua, nilai-nilai yang kini kian tergerus oleh media sosial,” sambungnya.

Namun, tak semua aspek bisa dengan mudah diadaptasi. “Gurun pasir sebagai latar utama cerita menjadi tantangan bagi kami,” aku Harwi. “Di Jawa Timur, hanya ada sedikit area yang mendekati, seperti Bromo atau Parangtritis, tetapi tetap tak sepadan dengan Sahara. Jadi, kami tetap menggunakan setting gunung pasir ala Sahara,” jelasnya.
Dari Transformasi menjadi Transmisi Budaya
Dalam proses adaptasi ini, transformasi menjadi elemen utama. Dosen Sendratasik Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Arif Hidajat menegaskan, setiap bentuk adaptasi pasti membawa tafsir yang berbeda. “Ketika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, maknanya bisa berbeda dengan ketika diadaptasi ke bahasa Jawa. Bahkan, di dalam bahasa Jawa sendiri, tafsirnya bisa berbeda antara orang Surabaya dan orang Jawa Tengah,” ujarnya.
Arif juga mengungkapkan, walau naskah ini berawal dari novel untuk anak-anak tapi mampu diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan masih digemari hingga kini. Ternyata, kata Arif, di dalamnya ada persoalan transmisi budaya. Bertemu orang-orang di setiap asteroid juga bentuk transformasi dan menjadi transmisi budaya. Ada filosofi di dalamnya yang masih relevan hingga kini.

“Setiap pertemuan dengan karakter baru adalah bentuk interaksi lintas budaya. Dalam pementasan tadi, Joko adalah representasi orang dewasa sementara Pethit adalah seorang anak. Anak-anak berbicara dengan imajinasi, pikiran anak-anak beda dengan orang dewasa dan orang dewasa tidak bisa memaksa pemikirannya kepada anak-anak.Orang dewasa harus mendengarkan,” jelasnya.
Dunia anak berbeda dengan dunia orang dewasa maka, kata Arif, alur seritanya lompat lompat setiap asteroid. Dari awal tengah hingga akhir ada adegan ularnya. Untuk merangkai cerita ada awal dan akhir.
“Dalam bahasa Prancis ‘petit‘ artinya kecil kalau di Jawa ‘pethit‘ itu ekor pucuk bungsu atau kecil,” jelasnya.
IFI Puji Kaya Ekspresi
Proses persiapan pementasan ini memakan waktu tiga bulan, dan pertunjukan di IFI Surabaya masih merupakan versi preview. Rencananya, produksi ini akan ditampilkan di Balai Bahasa Jawa Timur pada bulan April, sebelum akhirnya dipentaskan di Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta. Target utamanya adalah pertunjukan besar pada Juli mendatang.
Direktur IFI Surabaya, Sandra Vivier, mengungkapkan kekagumannya terhadap akulturasi budaya dalam pementasan ini. “Kami sangat menghargai usaha teman-teman SMKN 12 Surabaya dalam mengadaptasi novel Prancis ini ke dalam teater berbahasa Jawa. Ini adalah perpaduan budaya yang luar biasa indah. Saya terkesan dengan penampilan para siswa yang begitu hebat dalam membawakan cerita ini,” katanya.
Melalui “Joko Pethit” THE9ATRE membuktikan bahwa cerita klasik negara lain pun mampu dinikmati dan lebih dekat dengan budaya sendiri. Dengan bahasa Jawa yang kaya ekspresi, kostum tradisional yang autentik, serta alur yang disesuaikan dengan realitas sehari-hari, kisah seorang pangeran kecil dari Prancis kini telah menemukan rumah baru di tanah Jawa. (nio/red)
Tags: Bahasa jawa, cerita klasik, le petit prince, prancis, smkn 12 surabaya, superradio.id, teater
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.