ITS Dukung Pemindahan Ibu Kota Negara

Yovie Wicaksono - 17 August 2017
ITS menyampaikan hasil kajian akademis terkait rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia (foto : Superradio/Srilambang)

SR, Surabaya – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menyampaikan kajian akademis, terkait rencana pemerintah yang akan memindahkan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta tempat lain.

Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Joni Hermana mengatakan, rencana pemindahan ibu kota negara merupakan rencana yang tepat. Hal ini berdasarkan indeks Kota Jakarta yang rendah dibandingkan kota-kota lain, seperti di bidang keamanan, transportasi, serta pengembangan kawasan.

Para pakar tata kota dan teknologi dari ITS menyampaikan hasil kajian mengenai alasan kelayakan pemindahan ibukota, serta kriteria ibu kota yang sesuai untuk Indonesia di masa depan. , di Kampus ITS, Kamis (17/8/2017).

“Dari semua indeks yang berkaitan dengan fungsi ibu kota itu, hampir semuanya mempunyai posisi yang terbawah, Jakarta itu. Dari segi keamanan, dari segi transportasi atau kemacetan, dari segi pengembangan kewilayahan, karena ternyata pengembangan Jakarta itu membuat ketergantungan wilayah di sekitarnya, itu semakin besar ke Jakarta, sehingga terjadi ketimpangan dalam proses pembangunan ekonomi. 80 persen berkutat pada wilayah Jawa dan Sumatera, sementara daerah yang lain ketinggalan,” papar Joni Hermana.

Menurut pakar Tata Kota dan Arsitektur ITS Surabaya, Johan Silas, wacana pemilihan Kota Palangkaraya sebagai ibu kota negara tidak sesuai dengan misi Presiden Joko Widodo. Menurut Joko Widodo, laut harus menjadi masa depan pembangunan ekonomi bangsa.

“Dari sisi pembangunan itu yang akan nanti mahal itu karena (Palangkaraya) lahan gambut, lahan gambut,” kata Johan Silas.

Kondisi wilayah Kalimantan Timur menurut Johan Silas, jauh lebih baik dibandingkan Kalimantan Tengah khususnya Palangkaraya yang berada di pedalaman Kalimantan. Sementara Kalimantan Timur berada di garis tengah peta Indonesia, menjadi salah satu kawasan yang memiliki kedekatan kriteria ibu kota yang direkomendasikan oleh ITS.

“Tanahnya (Kaltim) kan sebagian besar alufial, agak padat. Jadi dari sisi biaya pembangunan akan beda banyak sekali. Di Kaltim bandaranya ada berapa, ada beberapa, dan nanti pilihan-pilihan itu harus disitu sebenarnya,” ujarnya.

Selain itu Johan Silas menyebut wilayah Kalimantan Timur termasuk kawasan yang jarang terjadi bencana serta konflik sosial. Kondisi ini merupakan nilai lebih Kalimantan Timur sebagai salah satu alternatif ibu kota negara yang baru.

“Ada beberapa (daerah) yang memenuhi syarat, beberapa tempat, salah satu yang menarik itu adalah Kalimantan Timur. Penduduk Kalimantan Timur itu hampir sama dengan Surabaya, tapi luasnya 430 kali Surabaya. Dan itu kebetulan daerah yang dari sisi bencana paling kecil, entah itu bencana longsor, kebakaran hutan. Dan daerah itu pluralistic, semua suku ada. Tapi sepanjang yang kita lihat dari sisi kerusuhan, hampir tidak dengar terjadi di Kalimantan Timur,” ungkap Johan Silas.

Kepala Departemen Teknik Transportasi Laut, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS Surabaya, Tri Achmadi mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan faktor maritim sebagai masa depan bangsa Indonesia, sebelum menentukan daerah mana yang akan dijadikan ibu kota negara yang baru.

“Jadi kalau mindah lokasi ibu kota pemerintahan yang baru itu, harapannya bisa menggeret lokasi ekonomi di luar Jawa, itu yang penting karena selama ini semua terkonsentrasi ke Jawa. Jalannya yang harus dibangun untuk menghubungkan itu semua ya jalan laut, karena negara kita negara maritim,” kata Tri.

Tri Achmadi menegaskan perlunya pembangunan industri maritim, seperti membangun pelabuhan, kapal, dan galangan kapal untuk perawatan dan pembuatan kapalnya itu. Langkah ini untuk menjamin proses pemindahan pusat ekonomi berjalan lancar, sekaligus mendukung pusat pemerintahan yang lebih dekat dengan lokasi dimana pembangunan itu berada,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Peneliti E-Government ITS Surabaya, Tony D. Susanto mengatakan, teknologi, informasi dan komunikasi merupakan syatat utama pembangunan ibu kota negara yang baru. Selain itu perlu memperhatikan pasokan sumber daya manusia (SDM) yang dapat mendukung pembangunan di tempat baru, untuk menunjuang keberlanjutan pembangunan di ibu kota baru.

“Kita harus memilih sebuah kota, dimana kota itu juga memudahkan untuk mensupplay SDM-SDM-nya. Ketika kita memindahkan, yang kita pindahkan misalnya dari Jakarta sampai level Kementerian pindah. Tapi untuk sustainability, untuk mensupporting semua proses bisnis itu kan perlu SDM-SDM. Untuk 20-30 tahun kedepan itu harus jelas, ketika dia dipindahkan dari Jawa, maka SDM-SDM terutama SDM IT ini, bagaimana pun juga aka  menjadi kendala ketika yang lulusan perguruan tinggi-perguruan tinggi dari Jawa,” kata Tony.

Selain memilih daerah di tengah atau pusat wilayah Indonesia, pemerintahan yang ada di ibu kota baru nantinya tidak harus semuanya terpusat di satu tempat. Pemerataan pembangunan akan terdukung pemerintah pusat, bila jajaran pemerintah dibawah Menteri dapat ditempatkan di kawasan-kawasan yang sesuai dengan yang diurusi.

“Minimal dari Fiber Optic Palapa Ring, dia masuk disitu, back bone-nya. Karena dengan konsep archipelago countries management tadi, fenomenanya akan berubah. Dari semula Presiden, Menteri sampai Dirjen ada di satu tempat, menjadi Dirjennya akan disebar ke pusat-pusat urusan itu. Kayak hutan ada di Kalimantan, mungkin kelautan ada di Sulawesi, dan itu membutuhkan koneksi TIK yang sangat kuat, yang sangat bagus, tandasnya,” tandasnya.(ptr/red)

Tags: , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.