Dosen Politik Unair Komentari Fenomena Kotak Kosong di Pilkada

Rudy Hartono - 12 September 2024
Dosen Politik Universitas Airlangga, Hari Fitrianto SIP MIP (sumber:antara)

SR, Surabaya – Calon tunggal dan kotak kosong, menjadi fenomena yang semakin marak terjadi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024. Femomena ini dikhawatirkan akan berdampak pada partisipasi pemilih dan kualitas demokrasi pada berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Dosen Politik Universitas Airlangga (Unair), Hari Fitrianto SIP MIP, fenomena kotak kosong bukanlah indikasi dari krisis demokrasi, melainkan lebih kepada masalah teknis terkait penjadwalan pemilu yang kurang ideal.

“Fenomena kotak kosong itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan krisis demokrasi. Namun, hanya soal pengaturan jadwal antara pemilu nasional dengan pilkada yang terlalu dekat,” ujar Hari, Selasa (10/9/2024).

Hari menyebut, pentingnya prinsip timely manner dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu harus dirancang untuk memungkinkan partisipasi maksimal dari masyarakat. Namun disayangkan, ambisi untuk melaksanakan pilkada serentak di tahun ini belum diiringi dengan pertimbangan waktu yang matang.

“Dengan menyerentakkan antara pemilu nasional dengan pilkada, partai politik dan calon-calon pemimpin di daerah tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi,” sambungnya.

Fenomena kotak kosong, memberikan dampak yang cukup signifikan pada partisipasi pemilih, dan adanya asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa calon tunggal otomatis akan menang.

“Hanya ada satu kandidat yang bekerja keras menghadirkan pemilih ke TPS. Sementara itu, kotak kosong tidak memiliki tim sukses, sehingga membuat orang menjadi enggan atau malas datang ke TPS,” ujarnya.

Jika kotak kosong menang dalam pilkada, akan berdampak besar bagi masyarakat setempat. Dikarenakan kepemimpinan akan diisi oleh pejabat sementara yang ditunjuk pemerintah pusat.

Kotak kosong, lanjut Hari, tidak bisa dimaknai sebagai bentuk protes politik dari masyarakat.

“Pembuat undang-undang mengasumsikan bahwa semakin serentak pemilu dilakukan, semakin baik. Namun, yang sebenarnya diperlukan adalah pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah,” katanya.

“Jadwal Pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya tidak dilakukan bersamaan. Jika pemilu nasional, misalnya, dilakukan di tahun 2024, maka pemilu daerah idealnya dilaksanakan dua tahun setelahnya,” saran Hari. (*/ant/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.