Dirjen Kebudayaan Yakin Nilai Luhur Para Penghayat Atasi Krisis Global

Rudy Hartono - 21 August 2024
Para Pembicara memberikan materi saat sesi diskusi (dari kiri, Etiko Kusjatmiko, Sri Hartini, Naen Suryono, Umbu Remi Deta, Samsul Maarif). (foto:niken oktavia/superradio.id)

SR, Surabaya – Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, meyakini nilai-nilai luhur  yang dipegang teguh para penghayat  mampu menjadi solusi dari berbagai masalah krisis global seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, ketimpangan yang semakin tajam, ekonomi dan kesehatan.

Sinyalemen itu disampaikan Hilmar  dalam sambutannya saat membuka Sarasehan Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di Wyndham Hotel, Surabaya, Selasa (20/8/2024).

“Oleh karena itu sebagai penghayat kita memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan bahwa ajaran dan ritual kita dapat memberikan kontribusi nyata dalam menjaga ketahanan sosial budaya dan ekologi,” lanjut Hilmar dihadapan peserta seminar yakni wakil dari  153 organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di seluruh Indonesia.

Dengan tema “Transformasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk Meningkatkan Ketahanan Budaya, Sosial dan Ekologi secara berkelanjutan”, Hilmar berharap sarasehan ini mampu memperkuat jaringan kerja sama antara penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Dengan demikian, para penghayat dapat saling mendukung dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, serta bersama-sama membangun bangsa yang lebih kokoh dan harmonis.

Adapun nilai luhur yang disampaikan Hilmar dijabarkan oleh  Pembina Perguruan Trijaya, Etiko Kusjatmiko bahwa  nilai-nilai luhur orang kepercayaan itu adalah nilai yang dimiliki oleh seseorang yang percaya kepada orang lain atas nama sesama ciptaan Tuhan.

“Salah satu nilai luhur kita itu adalah budi pekerti luhur. Kami sering belajar dengan mengatkan bahwa urip itu urup. Bukan hanya berhenti pada pitutur luhur tapi harus sampai pada perilaku luhur,” terangnya.

Organisasi Penghayat Berkuranng

Sementara itu Pamong Budaya Ahli Utama Kemendikbudristek, Sri Hartini menuturkan, 40 sekian tahun yang lalu tercatat 300 lebih organisasi penhayat kepercayaan. Namun, jumlahnya terus menurun dan sekarang jadi 153 organisasi.

“Tapi saya kira tidak menurun semua. Banyak yang berpartisipasi, banyak yang sudah melakukan hal-hal yang sangat positif tapi tidak kelihatan karena tidak menyampaikan dataya,” ujarnya.

Padalah, lanjut Sri, data menjadi kunci untuk menjaga identitas, eksistensi, kekuatan. Ketahanan budaya itu bagaimana kita semua bisa mempertahankan, mengisi dan memanfaatkan baik itu pengetahuan dan lainnya untuk kepentingan yang lebih luas lagi.

Mengantisipasi penurunan organisasi penghayat,  Ketua Umum Persatuan Warga Sapta Darma, Naen Suryono menyebut, tata kelola organisasi menjadi hal yang tak kalah penting untuk mengukuhkan eksistensi penghayat kepercayaan.

“Kenapa organisasi penghayat Sapta Darma sekarang memiliki hampir 750 sanggar di Indonesia? yang kami lakukan adalah pembinaan anak. Sejak kecil mereka didik dan dibina sesuai nilai penghayat. Pembina anak itu harus ada,” katanya.

Naen mengaku, kelemahan organisasi penghayat kepercayaan adalah tidak ada regenerasi. Namun, itu bukan satu satunya persoalan. Penghayat Kepercayaan di Sumba harus berjuang dalam pemenuhan hak pendidikan dan administrasi kependudukan.

“Bukan hanya Sumba Barat tapi Sumba Timur juga kerap kali ditolak untuk penggantian KTP ke Penghayat Kepercyaan. Oknum yang mabuk agama menyebabkan pelayanan birokrasi daerah terhambat,” ujar Penghayat Kepercayaan Marapu, Umbu Remi Deta.

“Begitu pula dengan layanan pendidikan. Kita belum ada penyuluh penghayat. Walaupun Indonesia merdeka 79 tahun, kita di Sumba masih terus berjuang dan tetap yakin ada jalan keluarnya,” pungkasnya. (nio/red)

Tags: , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.