Belum Semua Penyandang Disabilitas di Indonesia Terdata

Yovie Wicaksono - 4 February 2023
Ilustrasi penyandang disabilitas. Foto : (SHUTTERSTOCK/BRO.VECTOR)

SR, Jakarta – Belum semua penyandang disabilitas di Indonesia terdata, hal ini dikarenakan masih adanya stigma negatif terhadap penyandang disabilitas, kondisi geografis, hingga data tidak sinkron. Padahal, data ini penting agar difabel dapat mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), persentase penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 10 persen dari total jumlah penduduk.

”Saat dicek dengan yang punya NIK (nomor induk kependudukan), jumlahnya (penyandang disabilitas) sangat sedikit. Yang jelas, angkanya jauh dari 10 persen estimasi WHO,” kata Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia.

Adanya stigma negatif dari masyarakat mengakibatkan sebagian warga menyembunyikan anggota keluarganya yang menyandang disabilitas. Hal ini membuat mereka tidak terdata.

Kondisi geografis pun menjadi tantangan dalam mendata penyandang disabilitas. Sebagian penyandang disabilitas tinggal di tempat yang sulit dijangkau sehingga pendataan terhambat. 

Kemudian data yang tidak lengkap membuat sebagian penyandang disabilitas tidak memiliki dokumen kependudukan seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Tanpa dokumen ini, penyandang disabilitas tidak bisa mendaftar anggota BPJS Kesehatan. Mereka bakal sulit mengakses layanan kesehatan. Padahal, sebagian difabel perlu perawatan medis.

Dante mengatakan, ada orang tua yang tidak mendaftarkan anaknya ke sekolah karena tidak punya NIK. Kalaupun anak diterima sekolah, anak tidak bisa didaftarkan ke sistem pendataan nasional, Data Pokok Pendidikan.

Selain itu, juga dijumpai tantangan berupa belum sinkronnya data penyandang disabilitas yang ada di Indonesia.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, ada 22,5 juta penyandang disabilitas di Indonesia pada 2020. Pada tahun yang sama, Survei Ekonomi Nasional (Susenas) mendata ada 28,05 juta penyandang disabilitas.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, proporsi disabilitas pada kelompok usia 5-17 tahun sebesar 3,3 persen dan pada usia 18-59 tahun 22 persen. Pada kelompok usia di atas 60 tahun, persentase penduduk yang mengalami disabilitas berat dan ketergantungan total sebanyak 2,6 persen.

Pendataan penyandang disabilitas juga dilakukan berbagai kementerian sehingga ada berbagai versi data. Namun, data tersebut tidak sinkron. Dante berharap agar data-data itu bisa disinkronkan satu sama lain, bahkan sinkron dengan data dinas kependudukan dan pencatatan sipil.

Selain masalah sinkronisasi, data difabel yang ada pun belum secara rinci mencatat ragam dan tingkat keparahan disabilitas. Padahal hal ini penting agar bantuan yang diberikan ke difabel sesuai kebutuhan.

”Misalnya, disabilitas netra tidak dijelaskan seperti apa. Disabilitas netra itu ada dua, yaitu buta total dan low vision. Bantuan yang dibutuhkan keduanya beda. Orang buta total butuh tongkat (penuntun), sementara low vision butuh kaca pembesar untuk membaca,” ujar Dante.

Pelaksana Tugas Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial Nursyamsu menyampaikan, bantuan untuk penyandang disabilitas mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bantuan seperti alat bantu dengar atau kursi roda untuk mereka disesuaikan dengan kondisi masing-masing.

Ia menambahkan, data penyandang disabilitas cukup dinamis karena ada difabel yang meninggal atau pindah lokasi. Itu sebabnya data beberapa difabel tidak terekam. Pemutakhiran data secara berkala pun jadi penting.

”Peran pemda sangat kita perlukan (untuk pemutakhiran data). Jika ada penyandang disabilitas yang masuk kluster kemiskinan dan belum masuk DTKS, datanya bisa diusulkan. Ini dengan catatan bahwa datanya ada di dukcapil, ada KTP dan KK,” kata Nursyamsu. (*/vi/red)

Tags: ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.