Seperti Bung Karno, Ganjar Pranowo Ungkap Pernah Ganti Nama Lantaran Sakit-sakitan

Yovie Wicaksono - 7 May 2023

SR, Surabaya – Ada hal menarik saat Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo berkunjung ke rumah kelahiran Bung Karno di kawasan Pandean Gang 4, Peneleh, Surabaya, Sabtu (6/5/2023) sore.

Usai melihat-lihat foto dan literatur yang ada di rumah tersebut, Ganjar sempat bertanya kepada komunitas pegiat sejarah Begandring, Kuncarsono yang menemaninya terkait tahun berapa Bung Karno berganti nama.

“Saya jelaskan bahwa Bung Karno ganti nama saat usia 11 tahun yakni tahun 1912 di Mojokerto ketika sakit-sakitan,” terang Kuncar.

Usai mendengar hal tersebut, kata Kuncar, Ganjar mengatakan bahwa dirinya pernah diberi tahu oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri kalau Bung Karno pernah mengatakan, kelak akan ada Presiden yang namanya ganti seperti dirinya dengan alasan yang sama, yakni sakit-sakitan.

“Pak Ganjar bilang, sebelumnya namanya bukan Ganjar Pranowo, tapi karena sakit-sakitan akhirnya diganti. Awalnya Ganjar Sungkowo, dimana Sungkowo itu memiliki artinya duka. Jadi makna nama Ganjar Sungkowo adalah ganjaran setelah kedukaan, tapi setelah sakit-sakitan diganti Ganjar Pranowo,” lanjut Kuncar.

Hal tersebut seperti kutipan dalam Novel: Anak Negeri, Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo (2017). “Saat itu keluarga kami sedang banyak dirundung kesusahan. Sungkowo sendiri memiliki arti kesedihan,” bunyi kutipan tersebut.

Lalu ketika memasuki masa sekolah, nama Sungkowo diganti dengan Pranowo. Kedua orangtuanya takut kalau hidup Ganjar kelak selalu berkubang kesialan dan kesusahan bila tetap memakai nama Sungkowo.

“Kalau orang Jawa kan gitu. Sakit-sakitan, akhirnya ganti nama,” jelasnya.

Seperti diketahui, Bung Karno yang lahir pada 6 Juni 1901, anak kedua dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai ini semasa kecil mengidap banyak penyakit, mulai dari malaria, tifus, hingga disenteri.

Satu hari, Bung Karno pernah merasakan sakit dalam tempo yang lama dan hanya bisa terkapar di atas kasurnya dan merasa hidupnya akan segera berakhir.

Dalam buku berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Cindy Adams menuliskan kisah bagaimana orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa anak yang penyakitan disebabkan oleh namanya yang tidak cocok.

Bung Karno yang awalnya bernama Kusno akhirnya diganti menjadi Karna, lantaran ayah Bung Karno mengagumi kisah Mahabarata, dimana dalam cerita tersebut, Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar.

Soekemi sendiri menaruh harapan besar kepada putranya untuk menjadi Karna yang kedua. Dalam bahasa Jawa, pelafalan A dan O di akhir tidak mengubah esensinya. Sementara, tambahan “Su” memiliki makna sebagai “yang paling baik”. Dengan demikian, Sukarno bisa diartikan sebagai pahlawan yang paling baik.

“Karena itulah Sukarno menjadi namaku yang sebenarnya dan satu-satunya. Sekali ada wartawan yang menulis dengan nama awalku Ahmad. Namaku hanya Sukarno,” tambahnya.

Kemudian sewaktu di sekolah, Bung Karno membuat tanda tangannya dengan ejaan Belanda, S-O-E, bukan S-U. Dan ketika berusia 50 tahun, sangat sulit baginya untuk mengubah tanda tangan ke dalam ejaan baru.

“Jadi aku masih menulis S-O-E,” tutup Sukarno. (fos/red)

Tags: , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.