Greenpeace Indonesia Minta Negara Hadir Atasi Krisis Iklim

SR, Surabaya – Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto meminta negara hadir dan mendengar keluhan masyarakat yang terdampak krisis iklim.
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi bertajuk “Surabaya, Kota yang Panas dan Beracun di Vin Autism Gallery, Citraland, Sabtu (5/11/2022).
“Surabaya ini dikelilingi daerah industri dan membuat memperparah kondisi iklim. Mayoritas warga itu beli air, artinya air yang harusnya bisa kita nikmati itu sudah kurang layak. Kalau nanti polusi lebih parah, kita bisa kena ISPA,” ucapnya.
Menurutnya, banyak daerah yang terdampak krisis iklim, pengeboran minyak bumi, batu bara namun belum mendapat perhatian dari negara.
Ia mencontohkan, berdirinya PLTU di beberapa daerah yang tujuannya untuk pertumbuhan ekonomi justru membuat masyarakat sekitar menderita dengan dampak yang ditimbulkan. Asap dan limbah yang dihasilkan mengkontaminasi kesehatan mereka.
“Kalau negara hadir untuk rakyat itu rakyat yang mana. Masalah sosial, ekonomi, kesehatan yang mereka alami ini semua dampak dari energi fosil,” ucapnya.
Untuk itu, pihaknya ingin menyampaikan pesan atas bahayanya dampak yang ditimbulkan pada khalayak luas. Salah satunya dengan mengajak para pesepeda untuk melewati daerah yang terdampak dan bercengkrama dengan warga sekitar.
“Permasalahan krisis iklim ini perlu solusi serius, dan kita harus berkejaran dengan waktu. Bagaimana mitigasinya, apa yang harus dilakukan untuk mencegah krisis iklim tidak lebih parah,” ujarnya.
Ia pun berharap, fakta-fakta yang mereka temukan di lapangan menjadi masukan untuk pemerintah dalam membuat kebijakan transmisi energi menuju KTT G-20. “Jadi kalau kebijakan yang dikeluarkan dari G-20 masih bertetap pada energi fosil maka mereka belum mendengar masyarakat,” ungkapnya.
Dalam kegiatan tersebut, beberapa warga terdampak juga hadir untuk membagikan ceritanya. Salah satunya Sutama, warga Lakardowo Mojokerto yang daerahnya 12 tahun terdampak pencemaran limbah B3 yang dihasilkan PT. PRIA (Putra Restu Ibu Abadi).
“PT. PRIA mengantongi izin pengelolaan dan pemanfaatan limbah B3 tapi faktanya perusahaan di Lakardowo itu limbahnya ditimbun, jadi timbunan itu meresap ke air jadi tidak bisa digunakan warga,” kata Sutamah.
Hal serupa dirasakan Suharwati, warga Porong yang sudah 16 tahun terdampak lumpur Lapindo. “Di kejadian ini mungkin sudah 18 desa yang terdampak. Efeknya bukan hanya kesehatan, banyak balita kurang gizi, banyak perempuan yang melahirkan anak yang kurang normal, autis, kebocoran paru,” ucap Suharwati.
Ia pun mempertanyakan kehadiran pemerintah yang seharusnya ada untuk memberikan hak hidup mereka. “Kami gak dapat hak di negara ini. NIK kita dihilangkan, program afirmasi, zonasi sekolah itu gak bisa dipakai ke korban Lapindo. 100 persen anak di sana sekolah swasta karena untuk mendapat hak sekolah dengan layak itu susah,” ucapnya.
Sekadar informasi, gelaran diskusi ini merupakan rangkaian dari kegiatan tur sepeda Greenpeace Indonesia bertajuk Chasing the Shadow untuk mengkampanyekan krisis iklim. Tur ini bergerak dari Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, hingga Denpasar. (hk/red)
Tags: Dampak krisis iklim, greenpeace indonesia, Kehadiran Negara Atasi Krisis Iklim, Krisi iklim
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.