Dampak Efisiensi, Industri Perhotelan Sebut Lebih Parah Dari Masa Pandemi COVID-19

SR, Surabaya – Kebijakan efisiensi anggaran yang belakangan gencar diterapkan pemerintah mulai menimbulkan dampak serius bagi sektor pariwisata dan perhotelan. Di tengah keterbatasan aktivitas dinas dan menurunnya sektor pariwisata, okupansi hotel anjlok dan pemasukan usaha ikut menurun.
Kondisi ini mencuat dalam forum diskusi bertajuk “Tetap Eksis di Tengah Kebijakan Efisiensi” yang digelar hasil kerja sama antara iniSurabaya.com, Poin Plus Group, dan Artotel TS Suites Surabaya. Para pelaku usaha hotel dari Jawa Timur, DIY, Kalimantan, hingga Papua berbgai pengalaman menghadapi kondisi terkini. Diskusi ini menjadi cermin keresahan industri yang selama ini cukup bergantung pada aktivitas pemerintahan.
Ketua PHRI BPD Jawa Timur, Dwi Cahyono menyebutkan, segmen pasar hotel yang selama ini sangat bergantung pada kegiatan pemerintah, kini mengalami penurunan signifikan.
“Larangan study tour, pembatalan acara wisuda, serta pembatasan perjalanan dinas, ini sangat menekan destinasi wisata dan perhotelan. Hall untuk wisuda, dari 32 BPC, ada pengaruhnya langsung drop. Efisiensi ini juga menekan kami karena hampir 45 persen segmen kami berasal dari instansi pemerintah. Ketika ini dipangkas, ya benar benar memukul,” ujarnya di FGD yang dilaksanakan pada Rabu (7/5/2025) di meeting room Artotel TS Suites Surabaya.

Dwi juga menyampaikan, imbauan agar pelaku usaha tidak melakukan PHK tidak realistis jika tidak dibarengi dengan solusi konkret. Menurutnya, banyak hotel saat ini mengajukan relaksasi pajak, meminta penurunan tarif listrik dan air, hingga meminta keringanan pembayaran BPJS, karena sudah tidak mampu lagi menekan beban operasional.
“Bahkan di Bali dan Banyuwangi, income dari wisatawan mancanegara ikut terdampak karena ekosistemnya terganggu. Mereka melihat kondisi kita, lalu menawar harga serendah mungkin. Mereka memanfaatkan dan mengambil keuntungan sebanyaknya karena tahu tamu atau penghasilan kita kurang. Kita kehilangan daya tawar,” tegasnya.
Apalagi, tambah Dwi, maraknya penginapan harian tanpa izin yang ikut menggerus pasar hotel resmi. Menurutnya, benar alternatif wisatawan akan semakin banyak dalam hal penginapan, namun ketimpangan ini membuat persaingan menjadi tidak sehat.
“Kemarin lebaran jalan penuh, tapi imbasnya ke hotel hanya 50 persen. Kami butuh 24 izin untuk operasional hotel. Tapi penginapan harian bisa jalan tanpa izin, bahkan dengan lebih dari 20 kamar. Ini jelas harus ditertibkan,” katanya.
Tak hanya di Jawa Timur, kondisi serupa juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua dan Kalimantan. General Manager Mercure dan Ibis Pontianak City Center, Ricky Coen Arifin, melalui sambungan online, menyebut tekanan saat ini bahkan lebih parah dari masa pandemi.
“Kondisi saat ini lebih parah daripada masa Covid. Kami di Kalimantan, sudah terbebani soal rendahnya kunjungan wisata. Bandara internasional statusnya diturunkan jadi lokal. Ditambah, anggaran negara dialihkan ke proyek super besar tentang makan, yang kita belum tahu seberapa efektif manfaatnya itu, sehingga mengorbankan aspek lainnya. Sementara kami dibiarkan memutar otak sendiri,” ungkap Ricky.
Ia menilai, tanpa dukungan nyata dari pemerintah, pelaku usaha hanya bisa bertahan dengan modal nekat.
Dari sisi pemerintah, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim, Dian Okta Yoshinta mengakui kebijakan efisiensi memang membawa dampak nyata. Salah satu poin paling terasa adalah pemotongan anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen.
“Impresi dampaknya di perjalanan dinas kami, bukan kegiatan. Poin yang dipangkas soal perjalanan dinas dipotong 50 persen. Dan kegiatan yang tiga hari di hotel kini dipangkas satu hari,” ujarnya.
Ia mendorong pelaku usaha untuk mulai mengembangkan pola bisnis baru. “Buat teman-teman hotel harus cari pola bisnis baru. Misalnya kalau dulu tiga hari sekarang satu hari, ya harus dibikin pola baru untuk memaksimalkan satu hari itu. Selain itu, dilanjutkan dengan menggencarkan digital marketing dan penguatan kolaborasi lokal,” pungkasnya. (nio/red)
Tags: dampak negatif, efisiensi, hotel, PHRI, superradio.id
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.