Kusta di Indonesia Masuk Tiga Besar Dunia

Yovie Wicaksono - 30 January 2023

SR, Surabaya – Hari Kusta Sedunia diperingati setiap hari Minggu pekan terakhir di bulan Januari, menjadi momen baik untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda tentang pemahaman yang tepat dan benar tentang kusta.

Terlebih Indonesia masuk dalam 3 negara penyumbang kasus kusta tertinggi di dunia, setelah Brazil dan India.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, Maxie Rein Rondonuwu mengatakan, secara nasional, prevalensi kasus kusta sudah di bawah target 1 per 10.000 penduduk, tetapi pada 2022 menunjukkan masih ada 7 provinsi dan 118 kabupaten/kota yang belum eliminasi kusta, artinya masih lebih dari 1 diantara 10.000 jiwa.

Kusta, lanjut Maxie, merupakan salah satu penyakit tertua di dunia dan tergolong dalam kelompok penyakit tropis yang terabaikan.

“Seperti yang kita tahu, kusta ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Dan kalau penyakit sudah diketahui penyebabnya, biasanya kita bisa obati dan tentu bisa dikendalikan,” ujarnya saat memberikan sambutan pada lokakarya nasional dalam rangka memperingati Hari NTDs 2023 yang mengusung tema “Mengapa Masih Ada Kusta di Indonesia? : Sebuah Refleksi dan Advokasi Bersama untuk Zero Leprosy”, Senin (30/1/2023).

Tema ini kata Maxie, sangat tepat dan relevan dengan strategi global eliminasi kusta 2021-2030, kemudian melihat situasi kusta di Indonesia, juga upaya-upaya penanggulangan kusta yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mencapai eliminasi kusta. Termasuk yang paling penting adalah langkah penghapusan stigma dan diskriminasi kusta.

Di Indonesia, beberapa tantangan terjadi dalam penanggulangan kusta. Salah satunya terkait kasus anak dengan kusta yang masih tinggi.

“Ada 10 persen kasus anak dengan kusta. Jadi misal satu tahun ada 50 kasus, 5 diantaranya kasus anak. Ini tandanya transmisi penularan masih terjadi, kalau kita temukan kasus kusta pada anak, sekalipun ada tren penurunan ya. Oleh karena itu saya kira kerjasama kita dengan lintas sektor termasuk sekolah, kemendikbud, dinas-dinas di daerah itu sangat penting untuk melakukan screening kasus kepada anak sekolah,” ujarnya.

Tantangan berikutnya adalah disabilitas akibat penyakit kusta. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya deteksi dini, sehingga penyakit kusta dapat segera diobati hingga tuntas agar tidak menimbulkan disabilitas.

“Masih 6 persen kita temukan. Zaman sekarang kalau obatnya sudah ada, lalu ada disabilitas tingkat 2 itu berarti kita masih dikatakan gagal. Artinya penemuan belum berjalan maksimal,” katanya.

Dengan adanya angka disabilitas akibat penyakit kusta, maka akan diiringi dengan angka stigma dan diskriminasi.

“Itu sudah pasti. Karena itu saling berkaitan. Global leprosy strategy ingin mencapai dibawah 1 per 10.000 maka menjadi zero leprosy. Bukan hanya itu, namun sekaligus juga zero disability dan zero stigma. Ini yang saya kira kita harus berjuang bersama untuk melakukan eliminasi kusta,” pungkasnya. (fos/red)

Tags: , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.