ADHA, Melawan Sakit dan Stigma

Yovie Wicaksono - 26 February 2020
Ilustrasi. Foto : (Istimewa)

SR, Surabaya – Rini (nama samaran), nampak ceria saat menerima kedatangan superradio.id di “rumah” LSM Mahameru. Perempuan berambut pendek ini, juga melemparkan senyum seakan tak ada beban di hatinya. Baginya, hidup adalah soal kegembiraan dan harus dinikmati apapun yang dialami.

Perempuan berusia 39 tahun ini adalah orang tua bagi anak yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Putri (nama samaran), sang bungsu yang berusia 6 tahun, dinyatakan positif HIV sejak usia 1,5 tahun atau tepatnya di tahun 2014 silam.

Awal mula Rini mengetahui status anak bungsunya positif HIV, yakni saat Putri seringkali mengalami sakit panas dan diare yang tak kunjung sembuh, hingga pernah menjalani enam kali rawat inap di dua rumah sakit yang berbeda di Surabaya.

Dokter yang memeriksa, kemudian meminta Rini melakukan tes HIV untuk anaknya. Hasilnya, Putri dinyatakan positif HIV. Dan, keesokan harinya, Rini juga dinyatakan positif HIV.

Sejak saat itu, Rini mulai berjuang untuk mendapatkan akses kesehatan. Ia juga harus berjuang melawan stigma di lingkungan sekitar.

Rini dan sang bungsu harus menjalani Tes CD4 untuk mengetahui seberapa baik sistem kekebalan tubuh seseorang yang telah didiagnosis HIV.

Saat itu dokter mengarahkan Tes CD4 bukan ke rumah sakit besar yang dapat diakses secara gratis karena dia memiliki BPJS mandiri kelas 3, melainkan diarahkan ke salah satu laboratorium swasta di Surabaya dengan biaya sekitar 300 ribu.

“Saat itu saya sudah tidak ada dana lagi. Akhirnya saya dahulukan anak saya agar anak saya bisa pengobatan,” ujarnya.

Dokter sering kali menegur Rini karena tidak segera melakukan pengobatan. Apalagi, saat itu kondisi Putri hanya mengandalkan air susu ibu (ASI) Rini yang jelas tidak memutus rantai penularan virus sekalipun sang anak sudah menjalani pengobatan.

Hingga enam bulan kemudian Rini baru melakukan pengobatan setelah mendapatkan bantuan dana dari rekannya. Sejak saat itu, Rini dan putrinya, rutin menjalani pengobatan hingga sekarang.

Putri, harus mengonsumsi ARV atau antiretroviral untuk menekan jumlah virus HIV di dalam darah sebanyak dua kali sehari pada jam 7 pagi dan 7 malam. Waktu minum obat juga tidak boleh terlewat, karena itu akan berpengaruh terhadap virus didalam darahnya.

“Ya kadang dia bilang, capek aku minum obat terus,” ujar Rini menirukan perkataan Putri.

Kini jumlah virus di dalam darah (viral load) Putri sudah tidak terdeteksi, dengan kata lain Putri tidak menularkan ke orang lain serta kekebalan tubuh yang tergolong aman. Namun Putri masih harus terus mengonsumsi ARV agar viral load tidak naik dan menjadi terdeteksi lagi.

Terkait pelayanan maupun akses pengobatan, Rini mengatakan, saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali ia menjalani pengobatan. Terlebih, sudah ada pendampingan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Rini mengatakan, dirinya masih fokus pada proses pengobatan, begitu juga dengan putrinya. Ia belum berpikir kapan akan memberitahu status HIV yang disandang sang anak.

“Takutnya nanti kalau pas dewasa dia menyalahkan saya. Terus kita juga berpikir efeknya untuk dia seperti apa, karena anak sekecil itu harus minum obat terus,” katanya.

Sekedar informasi, Rini terkena HIV setelah tertular dari suami pertamanya yang telah meninggal dunia akibat HIV/AIDS. Putra sulungnya yang negatif HIV merupakan hasil pernikahannya dengan suami pertamanya. Sementara putri bungsunya merupakan hasil pernikahan dari suami keduanya yang telah berpisah dengannya, sebelum diketahui status HIV yang dialami Rini dan putrinya.

Persoalan lain yang sempat dialami Rini adalah ketika mendapat pertanyaan dari putra sulungnya. Melihat sang adik harus mengonsumsi obat setiap hari, putra sulung Rini yang saat itu masih berada di sekolah dasar sempat merasakan iri.

“Aku kan juga anak mama, kenapa kok cuma adik yang dikasih obat,” ujar Rini menirukan apa yang dikatakan putranya.

“Karena sekarang anak pertama saya sudah remaja dan sudah canggih, saya selalu menghilangkan merk obat saya agar tidak dibaca. Karena banyak anak yang tahu status itu dari merk obatnya terus dia searching di internet. Kalau obat anak saya lebih aman kemasannya,” imbuhnya.

Perjuangan Rini tidak hanya berhenti dalam memperoleh akses kesehatan untuk pengobatan HIV yang dideritanya bersama sang bungsu. Ia juga harus berbesar hati dalam melawan stigma yang hadir di lingkungan sekitarnya.

Salah satu tetangga dimana Rini tinggal, tidak memperbolehkan anaknya bermain bersama dengan Putri.

“Bahkan kalau suatu saat misalkan kita tidak boleh di kampung itu, ya sudah kita akan pindah. Meskipun rumah itu adalah rumah milik ayah saya, bukan nge kost ataupun kontrak. Kami juga sudah tinggal disana sudah lama sekali,” kata Rini.

 

Social experiment untuk melihat respon masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

Berjuang Melawan Stigma

Apa yang dialami Rini, juga dialami Fina (nama samaran). Ia pernah mendapatkan stigma buruk mulai dari lingkungan sekitar, bahkan termasuk dari petugas medis yang memeriksanya saat ia sedang drop di usia 15 tahun.

“Bahkan waktu awal buka status juga kayak dituduh, ditanya sama dokter kalau saya melakukan hubungan seksual ya, saya punya pacar ya, padahal dari dulu nenek saya tidak memperbolehkan saya pacaran dan memang saya tidak pacaran,” ujar perempuan berusia 23 tahun ini.

Sang nenek yang mengantar Fina ke rumah sakit, baru memberitahu statusnya yang positif HIV saat dipanggil masuk ke ruang dokter. Neneknya mengatakan di hadapan dokter kalau Fina tertular dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia sejak Fina berusia 1,5 tahun.

“Baru disitu petugas medis meminta maaf kepada saya dan menjelaskan bagaimana kondisi saya. Jujur saya sempat down, putus asa, kecewa, dan tidak terima kenapa saya harus mengalami ini,” ujarnya.

Setelah itu, Fina menjalani pengobatan di satu rumah sakit dan dipertemukan oleh orang-orang yang terus memberikannya semangat. Sang nenek juga selalu menemaninya berobat dan memberikan dukungan kepadanya.

“Suatu ketika saya merasa capek dan ingin berhenti pengobatan, tapi nenek saya yakni ibunya mama terus mengingatkan saya, memberi saya semangat untuk sembuh. Karena jujur saja saat saya sakit, keluarga dari papa juga tidak pernah menghubungi saya dan saat dikabari nenek justru responnya tidak baik,” katanya.

Fina berharap lingkungan di sekitarnya mendukung proses pengobatan dan penyembuhan dirinya dari HIV.

“Saya berharap, lingkungan lebih menghargai dalam artian jangan pernah menganggap orang itu dari apa yang kita dengar aja, tapi lihatlah, kita juga bisa melakukan aktivitas selayaknya orang biasa. Karena yang perlu diketahui adalah, tiap kali kita dikucilkan, disitu kita malah merasa kalau kita tidak punya harapan lagi, tidak ada orang yang peduli dan support kita,” imbuhnya.

 

Sosialisasi terkait HIV/AIDS kepada masyarakat. Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

Penyebab dan Pencegahan HIV

Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mahameru Surabaya yang menangani ODHA menunjukkan, anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Jawa Timur yang didukungnya sebanyak 485 anak (dibawah 17 tahun). Dimana jumlah tertinggi terdapat di Kota Malang (79 anak), Surabaya (63) dan Banyuwangi (57).

“Paling banyak memang tertular dari orang tua mereka,” ujar Ketua Yayasan Mahameru, Farid Hafifi.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Jawa Timur Herlin Ferliana mengatakan, terkait dengan ADHA, hal yang paling utama adalah bagaimana proses pencegahan yang dilakukan mulai dari hulu.

Untuk itu, pihaknya melakukan program pencegahan penularan HIV dari seorang ibu pada anaknya secara komprehensif yang meliputi empat komponen (prong) yakni prong yang pertama adalah pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif dengan cara melakukan penyuluhan kepada masyarakat terutama pada remaja terkait HIV/AIDS agar menghindari perilaku berisiko seperti hubungan seksual atau menggunakan narkoba jarum suntik. Hal tersebut dinilainya lebih mudah, efisien dan efektif untuk mencegah HIV/AIDS sejak awal.

Kemudian prong yang kedua, jika telah menghindari perilaku berisiko namun saat dilakukan tes HIV dan dinyatakan positif, maka saat menikah diupayakan bagaimana agar tidak menularkan kepada pasangannya dengan cara berhubungan seksual yang aman, yakni menggunakan kondom serta rutin mengonsumsi ARV.

Prong yang ketiga adalah pencegahan penularan HIV dari ibu hamil positif HIV ke bayi yang dikandungnya dan disusuinya.

Herlin mengatakan, prong ketiga ini harus mendapatkan pengawalan yang lebih ketat. Selain pemberian ARV, perencanaan persalinan yang aman, sang anak juga tidak diperkenankan menggunakan air susu ibu untuk mencegah penularan ke anak. “Ternyata banyak yang berhasil kan, banyak ibu positif tapi anak tidak. Tapi itu melalui pendampingan yang ketat sekali,” ujarnya.

Prong yang keempat, Herlin mengatakan, jika ketiga prong sudah dilakukan namun anak positif terkena HIV, hal yang utama adalah menerimanya. “Dia juga makhluk Tuhan, maka harus tetap kita dekati dan sayangi, maka diterima oleh semua pihak adalah menjadi kunci utama. Optimal akan kita kawal,” imbuhnya.

Herlin juga mengajak semua lini dan sumber daya yang ada untuk bisa berkontribusi sesuai dengan kewenangan, berkolaborasi bersama untuk mengawal pencegahan HIV/AIDS sejak hulu hingga hilir.

Terlebih, masih banyaknya kesalahan maupun kurangnya informasi tentang HIV/AIDS berakibat pada tingginya stigma dan diskriminasi di masyarakat terhadap ODHA maupun ADHA yang tentu melanggar Hak Asasi Manusia dan menghambat mereka untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan yang layak.

 

Long March saat Peringatan Hari AIDS Sedunia 2019 di Surabaya. Foto : (Super Radio/Fena Olyvira)

Penanganan Khusus ADHA

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abd. Wachid Habibullah mengatakan, secara nasional maupun internasional ADHA maupun ODHA mendapatkan perlakuan dan penanganan secara khusus, mulai dari hak atas kesehatan serta hak untuk bebas dari diskriminasi.

Undang-undang Kesehatan, secara garis besar juga telah memberikan perlindungan hukum terhadap ADHA dan ODHA yang meliputi hak atas pelayanan kesehatan, hak atas informasi, hak atas kerahasiaan, dan hak atas persetujuan tindakan medis.

“Pengobatan terhadap ADHA itu harus dilakukan secara komprehensif, tidak tuntas hanya diberikan ARV, tapi juga bagaimana pengobatan penyakit penyertanya, fasilitas kesehatan yang lain, kemudian kondisi psikologis dan sosial anak-anak ini juga rentan,” ujarnya.

Berkaitan dengan ADHA/ODHA, Wachid mengatakan, memang masih banyak sekali problem diskriminasi dan stigma di masyarakat. Hal yang harus dilakukan adalah dengan cara memberikan edukasi, meningkatkan kepedulian masyarakat terkait HIV/AIDS.

“Selama ini pemerintah juga kurang aware dengan penyadaran masyarakat terkait HIV/AIDS, bagaimana saat berhadapan dengan ADHA/ODHA,” ujarnya.

Wachid menambahkan, untuk membangun sumber daya manusia (SDM) unggul, yang merupakan fokus pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin, maka harus dimulai dari anak-anak yang menjadi bibit unggul.

“Bagaimana hak dasar anak ini bisa terpenuhi, salah satunya adalah hak atas kesehatan,” katanya. (fos/red)

Tags: , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.