Wayang Gedhog, Mutiara Budaya yang Hilang dari Madura

Rudy Hartono - 8 November 2024
Budayawan Wejoseno Yuli Nugroho saat memberikan materi tentang reaktualisasi wayang gedhog Madura di Gedung Cak Durasim,Surabaya, Jumat (8/11/2024). (foto:niken oktavia/superradio.id)

SR, Surabaya – Cerita Panji yang berkisah tentang perjalanan cinta Panji Asmorobangun, putra mahkota Jenggala yang mencari kekasihnya, Galuh atau Dewi Sekartaji, telah menginspirasi lahirnya berbagai seni di Indonesia, dari tarian, nyanyian, hingga pertunjukan wayang. Salah satu seni yang terpengaruh adalah wayang gedhog, khususnya yang berkembang di Madura.

Menurut budayawan dari Kedaton Ati, Wejoseno Yuli Nugroho, wayang gedhog menjadi representasi untuk membedakan cerita Panji dengan epos India seperti Ramayana dan Mahabharata. Kata “gedhog” berasal dari “gedhug” yang berarti batas atau “gedheg” yang bermakna pemisah. “Pemisah” yang dimaksud adalah batas antara epos Ramayana-Mahabharata dan cerita Panji.

“Kisah panji adalah kisah yang menceritakan pertemuan cinta antara Panji Asmorobangun dan Sekartaji atau Inu Kertapati dengan Galuh Candra Kirana. Kisah Panji ini adalah kisah asli atau otentik nusantara yang sudah ada dan populer di abad ke-11 pada masa Majapahit,” katanya saat menjadi pemateri di seminar bertajuk Reaktualisasi Wayang Gedhog Madura, di Gedung Cak Durasim, Surabaya, Jumat (8/11/2014).

Wayang gedhog yang membawa kisah Panji mulai berkembang sejak abad XV Masehi  di keraton-keraton Jawa khususnya Surakarta. Menariknya, seni wayang gedhog atau romansa Panji turut mewarnai budaya Madura, yang selama ini lebih dikenal dengan karakter tegas dan berani.

“Dulu, jauh sebelum masa Pakubuwono di Solo, masih kerajaan Mataram. Di Pamekasan ada kerajaan bernama Jembringin dengan raja Menak Senoyo. Pada waktu itu kerajaan Jembringin berbesanan dengan Mataram sehingga Mataram memberikan seperangkat gamelan dan wayang kulit sehingga menjadi suatu identitas yang bernama wayang gedhog,” ujarnya.

Jejak wayang gedhog di Madura juga pernah dicatat oleh Raffles dalam bukunya History of Java, dengan Panembahan Notokusumo sebagai salah satu informan. Panembahan Sumenep itu memberikan input cukup banyak tentang cerita Panji. Hal ini menunjukkan bahwa bangsawan Madura telah mengenal wayang gedhog sejak lama.

Namun, sayangnya, wayang gedhog gaya Madura kini mulai langka dan terpisah dari daerah asalnya. Koleksi wayang gedhog Madura yang tersisa hanya tersimpan di Keraton Kasunanan, Gedung Negara Yogyakarta, dan sebagian lainnya disimpan di Yale University, Amerika Serikat.

“Sejak 1920 artefak wayang Panji Madura dijual oleh salah satu tokoh tionghoa di sumenep ke YALE University dan semenjak itu Madura berpisah dengan wayang gedhognya,” ungkapnya.

Ia sendiri merasa perlu mengaktualisasi seni ini agar tidak hilang ditelan zaman. “Saya mencoba mereaktualisasi dengan media kolaboratif, termasuk film, agar penonton masa kini tertarik dan menghargai warisan ini. Meski begitu, masalah minat masyarakat Madura sendiri menjadi tantangan besar.” Terangnya.

Seno berharap agar generasi muda tak ragu untuk mendekatkan diri pada seni warisan ini.  “Entah wayangnya yang terlalu jauh, atau kita yang enggan mendekat. Tapi menurut saya, keduanya perlu didekatkan. Saya mengajak generasi muda untuk tidak enggan mengenal kembali budaya ini,” pungkasnya. (nio/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.