Pemerintah Setengah Hati Selamatkan Pecandu Narkotika

Yovie Wicaksono - 4 February 2017
Kepala BNN Komjen Budi Waseso saat menghadiri sosialisasi pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Surabaya, tahun 2015 (foto : Superradio/Srilambang)

SR, Jakarta – Institute for Criminal Justice Reform menilai negara setengah hati melakukan penyelamatan bagi pengguna dan pecandu narkotika. Hal ini karena pengguna dan pecandu narkotika yang butuh diperlakukan berdasarkan pendekatan kesehatan, justru dilempar ke dalam penjara.

“Angka kematian tinggi yang digadang-gadang Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Presiden Joko Widodo selama ini bisa jadi tepat, sebab pengguna dan pecandu narkotika yang membutuhkan rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan,” ujar Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu, Sabtu (4/2/2017).

Menurut Erasmus, ada persoalan serius terkait pengguna narkotika dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas), namun pemerintah justru masih terus menjalankan program yang tidak sesuai dengan masalah pengguna narkotika di Indonesia.

“Seharusnya telah terjadi perubahan pendekatan penanganan terhadap pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pembinaan kepada pendekatan kesehatan masyarakat. Alasannya sederhana, dengan ditekannya angka pengguna dan pecandu, maka akan secara signifikan merusak peredaran gelap narkotika,” kata Erasmus.

Berdasarkan UU 35 Tahun 2009, baik pengguna dan pecandu lebih tepat untuk direhabilitasi atau diberikan penanganan dengan perspektif kesehatan. Tetapi penelitian ICJR, Empowerment and Justice Action (EJA) dan Rumah Cemara, menunjukkan bahwa dakwaan tertinggi kasus kejahatan masih mengenai narkotika.

Di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya misalnya, dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pecandu narkotika adalah pasal-pasal dengan lebel ‘bandar’, karena memiliki, menyimpan dan atau menguasai narkotika.

Temuan menunjukkan, 61 persen dakwaan yang diajukan Jaksa pada penggunaa dan pecandu narkotika, mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika. Pasal-pasal ini adalah pasal yang digunakan untuk menjerat pengguna narkotika dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun.

“Pasal-pasal ini juga secara otomatis mengategorikan seorang pengguna dan pecandu sebagai bandar dan bukan pengguna. Data di PN Surabaya menyebutkan 94 persen pengguna dan pecandu narkotika, dijatuhi pidana penjara,” ungkap Erasmus.

Banyaknya pengguna dan pecandu yang di penjara, kata Erasmus, akan mengakibatkan memburuknya kondisi Lapas, sehingga tidak heran jika transaksi narkotika merajalela di dalam Lapas bahkan mencapai level pengendalian. Karena pada dasarnya narapidana pengguna narkoba membutuhkan asupan narkotika karena efek kecanduan.

Kamis (2/2/2017) lalu, BNN merilis data ada 39 Lapas yang menjadi sasaran 72 jaringan narkoba internasional, yang saat ini bergerak di Indonesia. Sebelumnya bahkan diketahui ada 22 Lapas yang juga menjadi tempat bergeraknya peredaran narkotika oleh jaringan narkoba internasional.

“Seperti Jakarta, Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur. Itu mendominasi, jaringan ini begitu masif peredarannya,” kata Kepala BNN, Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui upaya pemberantasan peredaran nakotika di Lapas tidak mudah, karena melibatkan nilai transaksi dan jaringan yang besar. Dia mengaku malu atas temuan BNN tersebut, dan akan menegur langsung pejabat eselon II yang tupoksinya terkait dengan narkoba di Lapas.

“Kami meminta BNN untuk bekerjasama dengan kami memantau peredaran narkoba di Lapas,” singkat Yasona.(ns/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.