Omah Difabel Lingkar Sosial Hadirkan Batik Ciprat Ramah Lingkungan

Yovie Wicaksono - 4 June 2020
Omah Difabel Lingkar Sosial Hadirkan Batik Ciprat Ramah Lingkungan. Foto : (Lingkar Sosial Indonesia)

SR, Malang – Berbeda dengan produk batik ciprat lainnya yang menggunakan pewarna sintesis atau kimia buatan, workshop pemberdayaan masyarakat Omah Difabel Lingkar Sosial menghadirkan batik ciprat dengan menggunakan air rebusan daun, kayu dan kulit pohon sebagai bahan pewarna alami.

Ketua Lingkar Sosial Indonesia, Kertaning Tyas mengatakan, inovasi tersebut sebagai bentuk komitmen pada upaya pemberdayaan difabel dan kepedulian terhadap lingkungan hidup.

“Bahkan realisasi gagasan produk zero waste atau tanpa limbah ini juga didorong oleh keprihatinan adanya pandemi Covid-19,” ujar pria yang akrab disapa Ken ini, Kamis (4/6/2020).

Ken mengatakan, terdapat tiga hal penting dalam produk inovasi ini. Pertama, pasar baru bagi produk batik ciprat dengan pewarna alami. Dimana di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah terdapat sekira 15 kelompok difabel produsen batik ciprat dengan pewarna sintesis, dan pihaknya memulainya dengan pewarna alami yang lebih ramah pada lingkungan.

“Kedua adalah kontribusi positif bagi lingkungan, sebab limbah dari produk ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk atau kompos bagi tanaman. Sehingga produk batik ciprat dengan pewarna bahan alami termasuk dalam kategori zero waste atau tanpa limbah,” katanya.

Ketiga, inovasi tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap dunia atas upaya tatanan kenormalan baru (new normal) dalam menyikapi pandemi Covid-19, bukan hanya soal kebiasaan menggunakan masker, mencuci tangan serta melakukan jaga jarak, melainkan sikap dan perilaku hidup yang lebih seimbang dan ramah lingkungan.

“Kami berharap, khususnya di bidang permodalan dan keberlanjutan usaha, agar inovasi berdampak lingkungan dan pemberdayaan ini didukung oleh pemerintah dan CSR Perusahaan serta masyarakat luas,” tandasnya.

Ken menjelaskan, secara teknis pembuatan batik ciprat ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan warna, pencipratan lilin atau malam pada kain, pewarnaan, perebusan kain untuk menghilangkan lapisan lilin, dan terakhir pencucian dan pengeringan.

“Untuk persiapan warna, kita bisa menggunakan sumber daya alam secara terbatas dengan prinsip daur ulang. Secara terbatas artinya tidak perlu melakukan eksploitasi alam seperti penebangan pohon, penggalian mineral dalam tanah dan lainnya. Sedangkan daur ulang, artinya bisa dipergunakan berulang kali, yang terakhir ampas atau limbahnya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman,” tandasnya.

Untuk mendapatkan warna coklat misalnya, lanjut Ken, bisa dengan memanfaatkan kulit batang mahoni, warna merah dari batang secang, warna hijau dari daun pohon jambu biji atau daun tanaman kenikir, serta perpaduan beberapa bagian pohon dan tanaman untuk menciptakan warna yang unik. (*/red)

Tags: , , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.