Film Tilik Berhasil Memancing Kesadaran Masyarakat
SR, Surabaya – Beberapa waktu lalu, tagar #Tilik dan #BuTejo berhasil menduduki tranding topic di Twitter. Hal ini tak lepas dari film pendek berjudul Tilik yang berhasil menarik minat masyarakat untuk menonton.
Film yang mengambil latar tempat di Yogyakarta itu sendiri bercerita tentang perjalanan ibu-ibu yang hendak menjenguk atau tilik Bu Lurah di rumah sakit kota. Sepanjang perjalanan menaiki truk, Bu Tejo dan ibu-ibu desa lainnya bergunjing tentang Dian, salah satu warga yang masih berstatus lajang. Karakter Bu Tejo yang cerewet, judes, dan ceplas-ceplos itulah yang berhasil membuat film yang di unggah oleh channel Ravacana Film ini mencapai 20 juta penonton.
Viralnya film yang disutradai oleh Wahyu Agung Prasetyo itu memunculkan beragam kritik dari masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa film tersebut melanggengkan stereotip bahwa perempuan memiliki kebiasaan sebagai tukang gosip, mengandung misoginis, dan tidak memiliki pesan moral bermutu.
Terkait dengan ragam tanggapan di masyarakat, Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya Igak Satrya Wibawa mengatakan, film Tilik berhasil memancing kesadaran masyarakat akan persoalan stereotip dan posisi lemah perempuan dalam budaya patriarki yang masih banyak terjadi dan belum tuntas.
“Ada konsep dan penggambaran tentang perempuan yang perlu dipertanyakan dan menarik untuk didiskusikan dalam film Tilik. Hal itulah yang justru patut diapresiasi dari sisi yang berbeda karena konsep itu berhasil menjadi sebuah lokasi dialektika,” ujarnya.
Lebih lanjut, dosen yang kerap disapa Mas Igak itu mengatakan, sebuah karya film harus siap untuk dikritik dan diinterpretasikan atau dibaca maknanya oleh masyarakat luas secara berbeda-beda. Dalam studi sinema, kritik adalah bagian dari pembacaan sebuah film yang bagus untuk menunjukkan bahwa penonton tidak hanya berperan sebagai penikmat saja.
Munculnya beragam kritik justru secara tidak langsung menunjukkan sebuah ‘keberhasilan’ film Tilik dalam mengusik pemikiran penonton dan memancing kesadaran fenomena di masyarakat.
“Saya tidak dalam posisi membenarkan atau membantah kritik-kritik yang muncul karena setiap individu memiliki konteks dan latar belakang berbeda dalam menafsirkan. Justru saya melihat dialektika yang terjadi menunjukkan ‘suksesnya’ film tersebut dalam mengusik pemikiran penonton, memunculkan banyak pertanyaan, keraguan, kritikan, dan juga pujian dalam waktu yang bersamaan. Namun saya menyayangkan masih banyak orang yang belum bisa menerima kritik film sebagai bagian yang bermanfaat dalam filmmaker,” terangnya.
Secara keseluruhan, Igak menilai film yang berdurasi sekitar 32 menit itu sangat menarik karena mampu membangkitkan gelombang kreativitas seperti munculnya meme, stiker Bu Tejo, istilah-istilah baru, dan menjadi perbincangan di berbagai media.
“Sebagai film pendek, Tilik menunjukkan sebuah proses dialektika yang menarik. Semoga setelah ini banyak orang yang kembali membuat film pendek menarik lainnya,” pungkasnya. (*/red)
Tags: bu tejo, ravacana film, tilik, unair
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.