Eksistensi Bahasa Ibu di Masa Kini

Yovie Wicaksono - 21 February 2023

SR, Surabaya – Hari Bahasa Ibu Internasional atau Mother Language Day diperingati pada 21 Februari setiap tahunnya. Bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai atau diperoleh anak, baik itu bahasa daerah, bahasa nasional, hingga bahasa internasional (bahasa Inggris).

Di Indonesia, rerata, bahasa pertama yang dikuasai seorang anak adalah bahasa daerah, bukan bahasa nasional atau internasional. Akan tetapi tidak menuntut kemungkinan bahasa pertama yang diketahui dan digunakan adalah bahasa nasional dan bahasa internasional, bergantung pada siapa, di mana, dan atas kepentingan apa bahasa tersebut diajarkan.

“Di Indonesia yang dimaksud dengan bahasa ibu adalah bahasa etnik asal dari orang itu. Kalau kita dilahirkan oleh ibu yang etniknya adalah Jawa, maka bahasa ibunya adalah bahasa Jawa,” ujar Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga (Unair), Mochammad Jalal, Selasa (21/2/2023).

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini sebagai upaya untuk mempromosikan persatuan dalam keanekaragaman dan pemahaman internasional melalui multibahasa dan multikulturalisme, serta untuk meningkatkan kesadaran akan keberagaman bahasa dan budaya di dunia.

Melansir situs resmi UNESCO, tahun ini Hari Bahasa Ibu Internasional 2023 mengusung tema “Multilingual education – a necessity to transform education” atau pendidikan multibahasa – suatu keharusan untuk mengubah pendidikan.

Melalui tema itu, UNESCO mengadakan serangkaian acara dengan mengeksplorasi tema-tema berikut, mulai dari meningkatkan pendidikan multibahasa sebagai kebutuhan untuk mengubah pendidikan dalam konteks multibahasa dari pendidikan anak usia dini dan seterusnya.

Kemudian mendukung pembelajaran melalui pendidikan multibahasa dan multibahasa dalam konteks global kita yang berubah dengan cepat dan dalam situasi krisis termasuk konteks keadaan darurat, serta merevitalisasi bahasa yang menghilang atau terancam punah.

Indonesia sendiri merupakan negara multilingual dengan ratusan bahasa daerah. Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia menjadi negara dengan bahasa paling banyak kedua di dunia pada 2022, setelah Papua Nugini (840 bahasa). Ada 715 bahasa yang digunakan di tanah air hingga saat ini.

Maka dari itu, peringatan Hari Bahasa Ibu sangatlah penting lantaran saat ini banyak sekali bahasa ibu (bahasa daerah) yang hampir punah ditengah gempuran modernitas dan globalisasi, belum lagi kemajuan teknologi yang juga sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa ibu di Indonesia.

“Memang itu sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak, yang namanya penggunaan bahasa, kepemilikan bahasa itu nantinya selalu mengikuti arus perubahan. Modernitas dan globalisasi yang saat ini terjadi otomatis akan berimbas kepada bagaimana identitas bahasa ibu dan juga eksistensinya,” ujar dosen asal Bojonegoro ini.

Bahkan, menurutnya, bukan rahasia umum lagi bahwa saat ini sudah mulai banyak bahasa ibu yang punah atau hilang. Salah satunya karena minimnya penutur sebagai akibat dari adanya modernisasi, ranah penggunaan bahasa daerah diambil alih bahasa Indonesia, dan para orang tua tidak mentransfer bahasa daerah kepada anak-anak, tetapi justru lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris.

Faktor-faktor tersebut menyebabkan lemahnya posisi bahasa ibu (bahasa daerah) di masyarakat, terutama di wilayah-wilayah perkotaan.

Melemahnya atau bahkan hilangnya bahasa ibu sesungguhnya juga berimplikasi pada hilangnya nilai-nilai kearifan lokal di tengah-tengah masyarakat.

“Semakin bahasa itu tidak digunakan dan kehilangan penuturnya, maka mau tidak mau bahasa itu akan hilang. Kita tahu bahwa didalam sistim pemerintahan manapun yang namanya kepemilikan identitas lokal, kearifan lokal itu kan maunya dipertahankan, termasuk bahasa ibu,” kata Jalal.

Dalam peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini, Super Radio melakukan survei kepada 30 responden di wilayah Surabaya, dengan range usia 19-48 tahun dan di dominasi usia 22 tahun. Sebanyak 93 persen responden berasal dari suku Jawa dan sisanya suku Madura.

Dari survei tersebut, diketahui rerata responden masih sering menggunakan bahasa ibu dalam kegiatan sehari-hari, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Suroboyoan. Sebanyak 90 persen responden setuju bahasa ibu dilestarikan. Hanya 1 responden yang jarang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa sehari-hari.

“Menurut saya bahasa ibu adalah ragam budaya yang menjadi ciri khas keragaman Indonesia, jadi penggunaan bahasa ibu dalam keseharian menjadi salah satu upaya pelestarian budaya,” ujar salah satu responden yang berasal dari wilayah Surabaya Timur ini.

Sementara itu, salah satu ibu asal Surabaya, Agatha Retnosari mengaku alih-alih mengunakan bahasa daerah, ia lebih memilih mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya sebagai bahasa ibu. Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan sebab ada pengalaman unik yang terjadi di zaman orang tuanya sehingga diputuskan untuk memprioritaskan bahasa Indonesia karena lebih general.

“Jadi dari eyang bahasa ibu mereka adalah bahasa Jawa, dan saat tante saya TK itu nangis pulang ke rumah bilang gak mau lagi sekolah karena gurunya pakai bahasa China. Jadi dia gak ngerti kalau itu bahasa Indonesia, karena saat di rumah itu pakai bahasa Jawa,” ucap ibu yang juga sebagai anggota Komisi B DPRD Jatim ini.

Meski begitu, karena dirinya adalah orang asli Surabaya maka bahasa Jawa dan Suroboyoan tetap menjadi bahasa sehari-hari.

Dirinya juga tetap mengajarkan anak-anaknya bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Hal ini, menurutnya penting karena dimanapun, utamanya di Jawa, masyarakat sangat menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun.

“Kalau kita bicara bahasa ibu biasanya kebanyakan kan yang diajarkan adalah bahasa daerah dan saya juga sadar kalau kita gak bisa selalu menggunakan bahasa Indonesia jadi di kalangan tertentu justru bahasa Jawa Krama Inggil menjadi penting,” ujarnya.

“Jadi ke anak-anak saya juga masih mengajarkan bahasa itu kalau bahasa Indonesia itu memang harus dilestarikan karena itu cara kita berkomunikasi dengan berbagai suku,” imbuhnya.

Dirinya pun menyadari, seiring berjalannya waktu, bahasa Indonesia dan bahasa daerah mulai tergeser dengan banyaknya bahasa kekinian di anak muda. Terlebih informasi terkait hal tersebut bisa diakses bebas melalui media sosial. Karena itu, bahasa ibu perlu terus dilestarikan untuk menjaga tradisi dan kearifan lokal.

“Kalau saya melihat, anak saya sekolahnya kan sekolah konvensional bahasa Indonesia masih nomor satu jadi sudah cukup. Karena kalau lihat anak jaman sekarang itu kan lebih kenal dengan medsos jadi bahasanya gak baku itu yang harus dijaga jangan sampai bahasa di handphone digunakan untuk bahasa sehari-sehari,” ucapnya.

Bahasa Ibu dan Klasifikasi Strata Sosial

Jalal mengatakan, semua yang ada di dalam kehidupan manusia, baik aktivitas, perilaku, barang, hingga nilai-nilai pasti akan dibahasakan atau disimbolisasikan. Oleh karena itu, bahasa adalah representasi dari etnik itu sendiri.

“Maka kita bisa melihat bagaimana pentingnya bahasa itu sebagai identitas dari kepemilikan etnis,” katanya.

Menurutnya, bahasa etnik merupakan gambaran nilai-nilai yang ada di masyarakat. Misalnya pada klasifikasi sosial masyarakat Jawa, ada masyarakat ningrat sampai dengan rakyat biasa. Demikian juga bahasa ibu, menjadi representasi di sana.

“Tapi kemungkinan juga akan ada bahasa ibu yang egaliteriannya itu ada, artinya tidak mengandung klasifikasi itu. Artinya ini relatif, ada bahasa ibu yang merepresentasikan itu (strata sosial, red) dan ada yang tidak, tergantung bagaimana apakah ada nilai-nilai klasifikasi sosial masyarakat yang merupakan kepemilikan bahasa ibu itu atau tidak,” katanya.

Ia memberikan contoh, dalam konteks bahasa Jawa, terdapat beberapa klasifikasi bahasa, tergantung pada penggunaannya. Dimana bahasa Jawa Kromo Inggil digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua, lalu bahasa Jawa Kromo Madya untuk berbicara pada rekan sebaya, dan bahasa Jawa Ngoko untuk orang tua berbicara pada yang lebih muda.

Sementara jika bahasa ibu dihubungkan dengan status sosial, hal itu merupakan imbas dari perubahan sosial yang ada di masyarakat. Ada kalanya seseorang akan memilih bahasa pertama bagi anaknya dengan bahasa tertentu yang dianggap sebagai bahasa-bahasa yang memiliki klasifikasi tinggi.

“Orang saat ini barangkali menganggap bahasa internasional berada di level klasifikasi tinggi, jadi kalau anak-anak sudah bisa berbahasa Inggris itu nantinya akan dianggap sebagai kelas sosial yang stratanya itu tinggi. Bisa jadi seperti itu,” sambungnya.

Menjaga Bahasa Ibu, Menjaga Budaya

Satu hal yang paling penting dalam menjaga dan melestarikan bahasa ibu adalah pendokumentasian. Jalal mengatakan, sebelum berada diambang kepunahan dan hilang, maka penting untuk dilakukan pendokumentasian, sehingga generasi penerus paling tidak akan tetap bisa merunut bagaimana bentuk dan penggunaan dari bahasa nenek moyangnya.

Kemudian, lanjutnya, harus dibangun kesadaran pentingnya keberadaan, fungsi, dan juga peran bahasa ibu sebagai bahasa etnis.

Ia pun kembali mengingatkan pesan Presiden Soekarno, yakni “gunakanlah bahasa Indonesia, pelajarilah bahasa Inggris (bahasa internasional), dan peliharalah serta lestarikanlah bahasa daerah”.

“Harus ada keseimbangan terkait dengan penggunaan bahasa ini. Bagaimanapun juga kita tidak boleh melupakan identitas bahasa daerah kita yang merupakan bentuk nyata kandungan nilai-nilai kearifan lokal sebuah etnis maupun kebangsaan,” katanya.

Lalu, sebagai wujud nasionalisme, juga harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik, harus tau konteks-konteks dimana penggunaan bahasa Indonesia yang seharusnya, mulai dari penggunaan di lingkup akademik, formal, maupun non formal.

Kemudian kaitannya dengan ranah global maupun internasional, tentu juga perlu untuk mempelajari bahasa internasional, seperti bahasa Inggris.

“Intinya harus ada semacam sosialisasi terus menerus yang dibangun oleh pemerintah untuk mewujudkan keseimbangan penggunaan bahasa ibu, bahasa nasional dan bahasa internasional,” pungkas Jalal. (fos/hk/red)

Tags: , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.