Bung Karno Bela Hak Perempuan Lewat Buku “Sarinah”
SR, Surabaya – Kritik Bung Karno terhadap budaya patriarki sudah tercetus sejak era kolonial. Hal ini diekspresikan pada buku “Sarinah” yang terinspirasi dari kehidupan pengasuh sang proklamator.
Hal itu diungkapkan Dosen ilmu Sosial FISIP Unair, Airlangga Pribadi, saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk “Kontekstual Gagasan Bung Karno tentang Peran Perempuan di Era Digital” yang diselenggarakan DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Kamis (27/6/2024).
“Kala itu Bung Karno melihat nasib para perempuan yang diperlakukan sebagai kelompok lemah. Hanya berkutat dengan urusan rumah tanpa akses kebebasan berpendapat untuk memilih hidupnya sendiri,” lanjut Airlangga.
Padahal, peran perempuan sangat penting. Dalam berbagai kesempatan. Sang proklamator selalu menekankan bahwa perempuan adalah agen perubahan, indikator majunya sebuah negara terletak pada kemajuan perempuan. “Dalam konsepsi kebangsaan Bung Karno, manusia rakyat dan tanah air itu tidak bisa dipisahkan. Di era digital befikir Soekarnois adalah bagaimana kita telibat untuk berfikir dari pekembangan tatanan ekonomi tanpa adanya eksploitasi manusia dan atas manusia,” tuturnya.
Hal ini juga masih terjadi saat ini. Di era digital, makin banyak kesalahpahaman pada konsep kodrat sehingga membebankan perempuan pada beban ganda yakni bekerja dan mengurus rumah. Hal ini didukung dengan penggiringan opini dan informasi bias yang tersebar.
“Bung Karno mengutarakan bahwa seringkali istilah kodrat untuk melakukan marginalisasi dan peminggiran tentang hak-hak perempuan. Jadi kalangan feodalis kerap kali sampai di kesimpulan bahwa permpuan berada di kelompok lemah,” ujarnya.
Bung Karno pun, lanjutnya, sejak dulu sudah memetakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Pemikiran visionernya menekankan pentingnya negara hadir, melibatkan perempuan dalam membuat kebijakan, melihat persoalan dari kacamata perempuan, menjamin kesetaraan, dan hak-hak mereka.
Misal, kebijakan pemberian cuti pada pekerja perempuan sebagai upaya penyelesaian beban ganda, hingga perhatian pada persoalan pekerja rumah tangga. “Dalam konteks ini, cara atau perjuangan untuk menyelesaikan beban ganda adalah bahwa semua harus dibangun secara setara dan domestik adalah kolektif. Tugas negara untuk memberi ruang tentang urusan keluarga tidak hannya dibebankan pada perempuan,” ungkapnya.
Algoritma Google Tidak Netral
Hal serupa disampaikan, Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unair, Kandi Tomasoa. Ia menyebut persoalan perempuan berada pada spektrum yang luas. Entah seberapa majunya zaman, tetap akan ada diskriminasi terhadap perempuan.
Bahkan platform digital seringkali meneguhkan kekerasan baik lisan maupun visual, dan melumrahkan praktik patriarki, contohnya mesin pencarian google yang algoritmanya menjuruskan perempuan hanya pada persoalan reproduksi.
“Misal kita tulis di google “apakah Wanita” maka yang muncul adalah tentang persoalan yang tidak jauh dari masalah domestik dan reproduksi. Ini menunjukan bahwa teknologi itu tidak netral. Dan jika tidak hati-hati maka akan membentuk perilaku kita yang justru menempatkan kita ke posisi patriarki,” ucap Kandi.
Untuk itu, penting bagi perempuan menjadi pembelajar dan berdaya. Pergunakan platform digital sebagai alat perjuangan, manfaatkan keterkaitan dan koneksivitas untuk menyuarakan persoalan perempuan, memperjuangkan kesejahteraan, merdeka dari corak feodalis.
“Kalau kita bicara soal old colonialisme. Bukan lagi soal permpuan berhadapan dengan laki-laki, tapi memikirkan bagaimana kelompok agama, ras, dan suku memproduksi penindasan ke perempuan, dan kelompok temarginalkan lainnya,” ujarnya.
Seperti kutipan Bung Karno pada buku Sarinah yang berbunyi “Soal perempuan adalah soal masyarakat. Soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat, sama tuanya dengan kemanusiaan” maka, lanjut Kandi, persoalan perempuan bukan cuma terkait persoalan rumah melainkan terhubung pada persoalan sosial, ekonomi hingga diskriminasi suatu negara.
“Kita harus perhatian pada persoalan yang mengancam bukan hanya permpuan tapi juga kemanusiaan. Kita harus pikirkan apa yang harus kita lakukan untuk berjejaring dengan perempuan, dengan kelompok lainnya untuk perubahan sosial menuju lebih baik,” jelasnya. (hk/red)
Tags: buku Sarinah, Bung Karno, hak perempuan, Patriarki, pdip jatim, superradio
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.