Wewenang Bawaslu Harus Dipekuat Awasi Non-Tahapan Pemilu 

Yovie Wicaksono - 29 October 2025
Kiri ke kanan:   moderator, Sekretaris KIPP Jatim Deda Rainditya,   tokoh masyarakat Sri Setyadji , dan akademisi Unair Airlangga Pribadi saat diskusi “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Menjaga Eksistensi Bawaslu sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas” di Hotel Majapahit, Jumat (24/10/2025). (foto:anton/superradio.id)

SR, Surabaya – Kualitas demokrasi dalam Pemilu secara langsung masih belum optimal, pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu kian  kompleks mulai pembagian bantuan sosial, penggunaan media sosial, atau juga keterlibatan apparatus.

Terlebih adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024  yang pada pokoknya akan memberlakukan Pemilu nasional terpisah dengan Pemilu daerah. Diperkirakan tensi penyelenggaraan Pemilu mendatang akan semakin tinggi bagi peserta Pemilu baik antar partai politik  maupun internal partai politik. Sehingga diperlukan penguatan pada sisi pengawasan, alih alih mempreteli keberadaan Bawaslu melalui wacana status ad hoc.

Permasalahan  dan solusi pengawasan Pemilu menjadi topik diskusi yang digelar Bawaslu Kota Surabaya dengan tema “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Menjaga Eksistensi Bawaslu sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas” di Hotel Majapahit, Jumat (24/10/2025). Diskusi itu dihadiri para komisioner Bawaslu Kota Surabaya, Wakil Ketua Komisi II DPR  RI  Zulfikar Arse Sadikin, anggota Bawaslu Jatim Anwar Noris, para utusan partai politiik,  organisasi mahasiswa ekstra kampus dan media massa.

Seluruh peserta diskusi, pembicara, komisioner Bawaslu Surabaya, dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI berfoto bersama di Hotel Majapahit, Jumat (24/10/2025). (foto:anton/superradio.id)

Lembaga Pemantau Sedikit

Sekretaris Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jatim Deda Rainditya mengungkap tingginya praktik politik uang di Surabaya dan Sidoarjo pada Pemilu 2024 dengan besaran rata-rata Rp150.000 per pemilih. Tahun 2019 hasil kajian KIPP menyebut 56,8 persen pemilih terima uang tunai, sebanyak 64 persen menerima bentuk sembako.

“Tahun 2024 diperkirakan praktik money politik masih tinggi meski KIPP Jatim tidak punya data yang telak karena hanya menempatkan pengawasan pada 11 kota/kabupaten karena sudah tidak ada lagi funding independent, padahal Jawa Timur itu meliputi 38 kota/kabupaten”aku Deda. “Jadi kami harus menyatakan ada kerentanan dalam  pemantauan pelaksanaan Pemilu 2024 kemarin,” tegas aktivis alumni FISIP Universitas Airlangga itu.

Atas gejala itu, Deda khawatir akan kualitas pemilu mendatang ketika ada wacana bawaslu dijadikan ad hoc, yang betugas menjelang pelaksanaan Pemilu. Anggaplah komisioner dipilih setahun sebelum pelaksanaan pemilu, maka komisioner terpilih akan habis waktu untuk koordinasi internal tim,  sementara fungsi kerja-kerja pengawasan juga sesungguhnya akan kedodoran. Demikian halnya dengan usaha koordinasi dengan jaringan organisasi kemasyarakatan atau lembaga pemantauan lainnya. “Jadi menurut kami status ad hoc bagi bawaslu itu isu usang karena yang dihadapi saat pemilu adalah memastikan pengawasan pada tahap tahap pemilu dan pengawasan pada non tahapan pemilu,”tegas Deda.

Ditambahkan Deda bahwa Sesungguhnya pengkondisian money politics atau pelanggaran lainnya, acap kali terjadi di luar tahapan pemilu. “Pada saat ada temuan praktik politik uang atau kebijakan yang manipulatif di luar tahapan Pemilu, maka temuan itu tidak  bisa dipersoalkan sebagai pelanggaran Pemilu. Karena itu diperlukan penguatan wewenang Bawaslu dalam menindak  atau setidaknya dimunculkan metode pencegahan dini yang digagas Bawaslu bersama elemen masyarakat pro demokrasi,” cetus Deda.

Pemilih Berakal Sehat

Akademisi dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi SIP MSi PhD, setuju Bawaslu diperkuat peran dan fungsinya, bukanya diamputasi misalnya dengan wacana status ad hoc. Pasalnya pelanggaran pemilu dari tahun ke tahun selalu berulang.

Pelanggaran yang berelasi dengan kekuasaan, atau intimidasi, atau interest politik yang dibungkus dengan hukum, ada politik uang di tengah ekonomi masyarakat yang tidak baik, maka akan sulit menghasilkan pemilih yang menyalurkan aspirasinya secara demokratis. Karena pemilih yang demokratis seharusnya adalah pemilih  yang bisa memilih berdasarkan akal sehat.

“Ketika politik uang seperti diungkap KIPP, ketika yang dihadapi wani piro? ketika intervensi kekuasaan begitu kuat, ketika ada intimidasi, ketika semakin sedikit  lembaga pemantau, dalam kondisi seperti itu bagaimana mungkin tercipta pemilih yang berakal sehat. Dalam kondisi itu kok muncul wacana ad hoc, aneh dan tidak masuk akal,” sergah Angga, sapaan akrab Airlangga.

Untuk menciptakan kondisi masyarakat yang dapat memilih dengan akal sehat, yang diperlukan adalah lembaga pengawas yang memiliki power atau kekuasaan yang lebih kuat dan memiliki otoritas yang lebih luas. “Kalaupun lembaga pengawas tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran yang terjadi, setidaknya  lembaga pengawas itu  bisa membentengi dari kemungkinan timbulnya persoalan atau pelanggaran,” papar akademisi yang memperoleh gelar doktoral dari Universitas Mordoch Australia itu.

Ketua Bawaslu Kota Surabaya, Novli Bernado Thyssen. (foto:anton/superradio.id)

Selanjutnya Airlangga setuju dikatakan bahwa prinsip demokrasi semakin kuat maka  semakin besar partisipasi rakyat, dengan asumsi output dan dan outcome lebih baik. Namun di era digital saat ini, masyarakat luas yang terkoneksi dengan digital tak luput dari gempuran hate speech (ujaran kebencian), informasi hoax (palsu), propaganda yang justru melemahkan akal sehat. “Dalam kondisi masyarakat yang mengalami berbagai distorsi seperti itu, maka hasil pemilu juga tidak akan semakin baik, tapi malah semakin hancur. Upaya pencegahan berupa sosialisasi yang dilakukan sporadis saat jelang pelaksanaan pemilu akan sia-sia belaka,” analisa Airlangga.

Dijelaskannya bahwa fungsi pencegahan sesungguhnya ada pada tataran edukasi. Masalahnya, fungsi edukasi itu prosesnya tahunan seperti halnya pendidikan. Untuk itu ke depannya Bawaslu hendaknya membangun jejaring dengan berbagai elemen masyarakat seperti organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan mulai dari SMA hingga perguruan tinggi, kelompok-kelompok studi, organisasi perempuan dan sebagainya.

“Bersama mereka Bawaslu bikin workshop atau diskusi misal cara mengenali ujaran kebencian, bagaimana modus politik uang, dialog mengetahui adanya intervensi, konflik interest politik segala macam bentuk literasi langsung ke publik,” usul Airlangga, “Dengan kerja-kerja itu maka ada peran baru dari Pengawasan demokrasi dalam hal ini pengawasan Pemilu yang tidak hanya dilaukan oleh Bawaslu atau KIPP tapi oleh seluruh masyarakat yang ingin menjadi pemilih yang berakal sehat,” urainya.

Usulan lainnya, pakar politik kelahiran Jombang itu mendorong Bawaslu untuk memberikan apresiasi kepada individu atau komunitas-komunitas yang terbukti sudah melakukan pengawasan yang fair. Begitu juga dengan whistle blower misalnya dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) atau kader partai politik yang mengungkap pelanggaran di institusinya, harusnya mendapatkan perlindungan dari ancaman kriminalisasi ataupun sanksi administrasi oleh aparat penegak hukum atau atasannya.  “Sudah bukan rahasia lagi, praktik curang pada pemilu itu banyak insentifnya, yang jujur engga ada insentifnya. Mohon Bawaslu mempertimbangkan memberi insentif bagi orang-orang atau komunitas yang terbukti melakukan pengawasan yang jujur dan fair agar kualitas pemilu semakin berkualitas,” pungkas Airlangga.

Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur, Anwar Noris saat membuka diskusi  “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Menjaga Eksistensi Bawaslu sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas” di Hotel Majapahit, Jumat (24/10/2025). (foto:anton/superradio.id)

Refleksi dan Konsolidasi Lintas Organisasi

Sementara itu Ketua Bawaslu Kota Surabaya, Novli Bernado Thyssen, menegaskan pihaknya tetap aktif menjalankan fungsi pengawasan meski Pemilu lima tahunan sudah selesai. “Pertanyaan banyak orang adalah, ke mana Bawaslu setelah pemilu berakhir? Apa yang kami kerjakan? Di tengah masa non-tahapan, kami tetap bergerak melakukan penguatan konsolidasi demokrasi di Kota Surabaya,” ujar Novli.

Menurutnya, Bawaslu Surabaya secara rutin menggelar diskusi bulanan isu demokrasi bersama partai politik, Badan Eksekutif Mahasiswa, non government organization (NGO), dan komunitas masyarakat sipil. Selain itu, lembaga ini juga memiliki program podcast dua mingguan yang membahas isu-isu demokrasi dan pemilu secara terbuka melalui kanal YouTube Bawaslu Surabaya. “Kami ingin menunjukkan bahwa pengawasan pemilu bukan sekadar kerja administratif, tapi kerja moral untuk bangsa,” tekat Novli.

Di kesempatan yang sama, membuka acara diskusi, anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur, Anwar Noris, menilai kegiatan ini sebagai ajang refleksi dan pembelajaran bersama menjelang siklus pemilu berikutnya, menyusul antisipasi adanya perubahan-perubahan pengelelolaan pemilu pasca terbitnya keputusan keputusan Mahkamah Konstitusi.  Yang terbaru, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 serta Keputusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang pada pokoknya menghapus president threshold.

“Bawaslu kabupaten/kota kini sudah berusia delapan tahun. Forum ini menjadi ruang refleksi atas apa yang sudah dan belum kita capai,” ujarnya.

Anwar mengingatkan bahwa pengawasan pemilu di masa depan akan menghadapi tantangan baru, terutama dari perkembangan teknologi seperti AI dan rekayasa suara yang berpotensi dimanfaatkan untuk propaganda politik atau kampanye hitam, sementara aturannya belum ada.

“Bawaslu sadar memiliki keterbasan dan masih banyak ruang kosong dalam melakukan pengawasan pemilu, karena itu Bawaslu tidak bisa bekerja sendirian mengawal demokrasi, Bawaslu memerlukan jejaring  yang luas untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengawasan,” harap Anwar.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin saat menyampaikan tinjauan Pemilu 2029 pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 saat diskusi “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Menjaga Eksistensi Bawaslu sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas” di Hotel Majapahit, Jumat (24/10/2025). (foto:anton/superradio.id)

UU Pemilu Kembali ke Jalan Benar

Terkait dengan Keputusan MK Nomor 135 tentang pemisahan jadwal Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dengan Pemilu Daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD) yang akan diberlakukan mulai Pemilu 2029,  Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin memastikan DPR RI siap melaksanakan keputusan dengan melakukan perubahan pada UU Pemilu, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017.

“Dengan adanya Keputusan MK 135 ini, maka sudah tidak ada lagi rezim Pilkada (pemilihan kepala daerah) seperti yang termaktub dalam UU nomor 10 Tahun 2016. Semuanya sekarang rezim Pemilu, artinya dalam UU Pemilu yang akan datang akan memuat juga soal pemilihan kepala daerah,” tegas Zulfikar.

Untuk membahas revisi UU Pemilu, DPR RI telah menunjuk Komisi II yang melakukan kajian dan membuat rancangan perubahan yang diperlukan dalam merespons berbagai masukan dalam upaya terus memperbaiki  sistem demokrasi melalui pemilihan umum.

“Kami senang dengan keputusan DPR RI yang mempercayakan komisi II untuk menyusun rancangan perubahan UU Pemilu, termasuk juga membuat naskah akademik perubahannya. Sebelumnya, menyangkut Pemilu atau Pilkada pembahasannya oleh badan legislatif. Jadi sekarang DPR RI sudah kembali ke jalan yang  benar,” kata Zulfikar tersenyum. Ia mengatakan Komisi II sudah membuat evaluasi Prolegnas (Program Legislasi Nasional) yang akan diputuskan dalam rapat prolegnas tahun 2026 mendatang.

Dalam pembahasan di DPR RI, Zulfikar mengatakan   bahwa Komisi II memastikan bahwa Pemilu tidak akan kembali ke masa orde baru dimana kepala daerah dipilih oleh parlemen. Komisi II juga tidak lagi mempersoalkan periodesasi penyelenggara Pemilu. “Wacana ad hoc Bawaslu atau kembali ke orde  baru itu sudah tidak relevan lagi dibicarakan dalam perubahan UU Pemilu yang akan datang,” paparnya.

Bahkan, karena jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah berdekatan selisih 2 – 2,5 tahun, lanjut Zulfikar, ada pemikiran lembaga lain dibawah Bawaslu dan KPU juga akan bekerja selama 5 tahunan. “Bisa jadi Panwas, PPK (panitia pemilih kecamatan) bekerja 5 tahun, bila perlu yang di TPS juga tetap 5 tahun ,” selorohnya. (ton/red)

 

 

 

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.