Pentingnya Kesadaran dan Pemahaman Terkait Keberagaman Gender

Yovie Wicaksono - 4 June 2023
Seminar dan diskusi lintas agama bertajuk “Gender and Sexuality” di Aula Soetandyo, Gedung C FISIP Unair, Sabtu (3/6/2023). Foto : (Super Radio/Agatha Rostin)

SR, Surabaya – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menggelar seminar dan diskusi lintas agama bertajuk “Gender and Sexuality” di Aula Soetandyo, Gedung C FISIP, Sabtu (3/6/2023).

Seminar ini mengupas tuntas terkait kesadaran gender dan pencegahan kekerasan seksual bagi sivitas akademika serta generasi muda. Dimana pengelola perguruan tinggi juga wajib mengikuti protokol prinsip-prinsip dasar pencegahan kekerasan seksual sesuai dengan anjuran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Salah satu narasumber yang hadir dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi, Aan Anshori mengatakan, manusia terlahir dari beragam suku dan budaya, demikian pula gendernya. Menurutnya, sebagian orang memiliki gender yang berbeda dengan kebanyakan orang, tetapi mereka tetap ada dan menjadi bagian masyarakat. Karena itu, penerimaan atas keberagaman gender itu sejatinya adalah wujud dari penghargaan atas keragaman manusia.

Aan mengatakan, selama ini masyarakat menilai gender dan sexual sebagai sebuah opsi biner, yang hanya terdiri dari perempuan dan laki-laki saja. Padahal, lanjutnya, gender sebenarnya adalah sebuah kontinum dengan berbagai kemungkinan. 

“Akibatnya, saat ada seseorang yang mengekspresikan gender di luar laki-laki dan perempuan, banyak orang kaget dan merasa aneh. Bahkan, tidak sedikit orang langsung menghakiminya sebagai penyimpangan,” ucapnya.

“Kemudian ada kasus pengusiran mahasiswa baru di salah satu universitas negeri, gara-gara dia mengaku gendernya non-biner saat sang dosen menanyakan jenis gendernya serta di dunia pendidikan lainnya. Ini menunjukkan sangat sulit bagi masyarakat memahami isi – isu terkait keberagaman gender, apalagi seksualitas. Bahkan, di kalangan terdidik dan lingkungan pendidikan sekalipun masih melonjak,” sambungnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Pendidikan Dasar & Menengah Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Lany Guito mengatakan, perkembangan ilmu pengetahuan tentang gender dan seksualitas yang kompleks itu belum banyak dipahami masyarakat. Mereka yang terdidik atau di lingkungan pendidikan bisa saja masih kurang berminat untuk mempelajari hal tersebut. 

Selain itu, kuatnya nilai atau normal heteronormatif masyarakat yang kurang bisa menghargai gender selain laki – laki dan perempuan pasti juga akan memengaruhi pendidikan.

”Meski banyaknya masyarakat kita memiliki norma heteronormatif yang biner, dalam berbagai kondisi yang tidak linier dalam SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity and Sex Characteristics, red) itu ada dalam realitas masyarakat,” ucap Lany.

Lany Guito menambahkan, lemahnya pemahaman masyarakat tentang keberagaman gender dan seksualitas juga dipengaruhi oleh kuatnya nilai konservatisme masyarakat. Mereka masih memegang teguh nilai lama yang menganggap gender hanya ada dua, laki – laki dan perempuan. Sikap itu, membuat mereka masih sulit menerima kebaharuan pengetahuan, terutama terkait konsep gender yang dinamis.

”Padahal, untuk menentukan jenis kelamin saja, terkadang kita tidak cukup untuk dilihat secara fenotipe (berdasarkan yang tampak) saja, sesuai organ atau alat kelaminnya. Penentuan jenis kelamin terkadang harus dilakukan secara genetik dengan memeriksa kromosom penentu jenis kelaminnya,” katanya.

“Sulit menerima dan menghargai perbedaan gender membuat banyak warganet langsung menghakimi identitas non biner yang diakui mahasiswa baru yang diusir tersebut sebagai penyimpangan atau penyakit. Padahal, non biner tidak dikategorikan sebagai penyimpangan seksual, penyakit seksual, atau gangguan mental, tetapi sebagai variasi gender,” sambungnya.

Dosen Agama Khonghucu Ubaya, Liem Ciang Santoso menambahkan, lemahnya pemahaman dan penerimaan masyarakat tentang keberagaman gender dan seksualitas itu dipastikan akan menimbulkan benturan di masyarakat. Terlebih lagi, generasi muda saat ini, yaitu generasi Z dan generasi alfa adalah generasi yang ekspresif, termasuk dalam urusan gender dan seksualitas.

“Paparan media sosial sendiri, membuat anak muda semakin berani menunjukkan jati dirinya. Budaya pop, khususnya Kpop dengan boyband nya yang berpenampilan dan berdandan sangat unik, tak hanya mengenalkan karakteristik gender berbeda, tetapi juga menginspirasi anak muda sekarang,” kata Liem 

Menurutnya, media sosial juga memberikan ruang bagi anak muda mengekspresikan gender dan seksualitasnya yang tidak bisa diterima di ruang publik.

“Kita melihat kedepannya, makin banyak anak muda yang ekspresif dengan gender dan seksualitasnya. Namun, hal itu tidak perlu dilarang karena secara psikologis, masa remaja adalah masa pencarian identitas atau jati diri. Di masa saat ini, anak muda akan mengeksplorasi segala hal yang ada dalam pikirannya,” pungkasnya. (ag/red)

Tags: , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.