Ruwatan Massal, Tradisi Pembersihan Diri dan Penguatan Budaya
SR, Surabaya – Tradisi ruwatan massal digelar di kawasan Cagar Budaya Joko Dolog Surabaya dalam rangkaian acara budaya “Amenangi Wurare”, Minggu (16/11/2025). Acara yang diinisiasi Seduluran Abdi Dalem Joko Dolog ini sekaligus memperingati tiga momentum bersejarah, yakni 736 tahun Prasasti Wurare (1289–2025 M), 732 tahun Kerajaan Majapahit (1239–2025 M), serta Hari Pahlawan ke-580 tahun.
Pada gelaran ruwatan massal ini diikuti 22 peserta dengan beragam maksud dan niat. Mulai dari harapan kelancaran jodoh, keharmonisan rumah tangga, hingga persoalan pekerjaan.

Rangkaian kegiatan dimulai dengan pembukaan, penampilan wayang Batara Kala, prosesi tumpengan, lalu dilanjutkan dengan ruwatan sebagai inti acara.
Dalang ruwat Ki Suwito Sri Mudho Dharsono menjelaskan bahwa ruwatan bukan sekadar ritual seremonial, melainkan proses spiritual untuk membersihkan diri dari unsur-unsur negatif. “Ruwat itu bermakna pembersihan, tapi bukan membersihkan badan secara fisik. Lebih ke membersihkan kesialan atau pengaruh buruk yang melekat pada diri seseorang,” ungkapnya.

Menurutnya, setiap peserta datang dengan latar belakang yang berbeda-beda, dan masing-masing membawa beban yang ingin dilepaskan. “Ada yang terkait ontang-anting, gedhana-gedhini, perjodohan, maupun pekerjaan. Dengan ruwat massal ini, harapannya kehidupan mereka bisa berjalan lebih lancar dan baik. Tidak ada lagi rasa was-was, dan perubahan itu akan terasa sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa prosesi ruwatan tidak menimbulkan dampak sampingan apa pun. Justru keyakinan peserta adalah hal terpenting dalam proses ini. “Tidak ada efek samping dari ruwatan. Yang penting adalah kepercayaan. Kalau seseorang yakin, insyaallah ada perubahan positif dalam hidupnya,” jelas Ki Suwito.

Selain memiliki makna spiritual, ruwatan juga dianggap penting dari sisi pelestarian budaya. Dalam prosesi ini, sejumlah unsur budaya Jawa kuno masih dipertahankan, termasuk penggunaan bahasa sastra Kawi dan Sanskerta. Dua bahasa klasik itu kini semakin jarang terdengar di ruang publik.
“Ini tradisi budaya yang harus dilestarikan, terutama di era modern seperti sekarang. Bahasa-bahasa kuno seperti huruf Kawi dan bahasa sansekerta juga harus tetap diperkenalkan kepada generasi penerus, supaya mereka tahu dan tidak asing dengan warisan leluhur,” katanya.Ia berharap ruwatan massal seperti ini dapat terus diselenggarakan sebagai pengingat pentingnya menjaga identitas budaya. “Harapan saya, mari kita lestarikan budaya kita sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?” pungkasnya. (bmz/red)
Tags: Joko Dolog, pelestarian tradisi, ruwatan massal, wurare
Berita Terkait
Tinggalkan komentar
Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.





