Menumbuhkan Keberanian pasca Serangan Bom, GKI Diponegoro Gelar Doa Bersama Lintas Iman

Yovie Wicaksono - 19 May 2018
Doa bersama pasca serangan bom bunuh diri di GKI Diponegoro diikuti masyarakat lintas agama dan kepercayaan (foto : Superradio/Srilambang)

SR, Surabaya – Serangan bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, Minggu (13/5/2018) yang lalu tidak lagi menjadi ketakutan bagi jemaat gereja, meski sebelumnya sebagian jemaat mengalami trauma akibat peristiwa teror itu. Hal ini ditunjukkan dengan berkumpulknya seribu lebih jemaat serta kelompok masyarakat lintas iman dalam doa bersama di GKI Diponegoro.

Doa bersama dan kebersamaan antar elemen masyarakat ini merupakan kekuaran dan dukungan bagi para penyintas, agar mampu mengembalikan rasa percaya diri dan tekad untuk bangkit melawan terorisme.

Yuska Harimurti, aktivis Gusdurian Jawa Timur menegaskan, doa bersama lintas iman ini sebagai dukungan dan kekuatan semua elemen masyarakat Surabaya untuk melawan semua bentuk kekerasan maupun terorisme.

“Itu untuk saling menguatkan, memberikan dukungan, memberikan support kepada pada korban, khususnya kepada masyarakat Surabaya, bahwa masyarakat Surabaya itu akan senantiasa dan selamanya bisa bergotong royong membentuk kehidupan yang rukun bahagia. Dalam sejarahnya tidak ada Surabaya mengalami hal seperti ini. Jadi, ini adalah bukti bahwa dengan keguyuban dan karakter masyarakat Surabaya akan bisa memperkuat, membuat Indonesia menjadi lebih mandiri,” tutur Yuska.

Peserta doa bersama memadati ruangan dalam GKI Diponegoro, bercampur antara jemaat dan masyarakat lintas agama dan kepercayaan. Selain doa bersama, juga dibagikan refleksi dan testimoni jemaat yang menjadi penyintas atau saksi mata kejadian.

Yosua Poli, seorang penatua gereja menuturkan kisah yang dialaminya saat serangan bom bunuh diri terjadi dan menyasar gerejanya, hingga melukai beberapa jemaat dan petugas keamaman gereja yang sedang bertugas. Pelaku bom bunuh diri yang adalah wanita bersama dua putrinya yang masih kecil, menimbulkan pertanyaan dan gejolak di batin Yosua mengenai arti seorang ibu. Padahal, saat peristiwa ledakan bom bunuh diri terjadi, gereja sedang memperingati Hari Ibu Internasional, dengan tema Allah yang berhati ibu.

“Ibu dalam benak saya adalah ibu yang mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan anak, ibu berpikir untuk keselamatan anaknya terlebih dahulu, baru berpikir untuk dirinya sendiri. Tapi pada saat yang sama saya dihadapkan seorang ibu dengan dua orang anak, melakukan tindakan bunuh diri. Setiap kali saya mengingat situasi itu saya sedih, beberapa hari saya menangis, karena itu bukan sosok ibu yang saya kenal,” Yosua mengisahkan.

Kehadiran kelompok lintas agama ingin menunjukkan bahwa teror bom yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan agama. Selain itu, kehidupan kerukunan antar umat beragama di Surabaya sudah berjalan sangat baik selama ini.

Diungkapkan oleh Mardikin, warga Surabaya penganut Sapto Darmo, aksi teror jangan sampai membuat takut warga Surabaya, karena dengan bersatu semua gangguan dan teror dapat dilawan.

“Kita sebagai warga Surabaya, tidak boleh takut. Kita harus berani menghadapi segala hal apapun tantangan yang namanya radikalisme atau terorisme. Kebersamaan dan kebhinnekaan ini mari kita jalin, supaya kita saling erat, saling bahu membahu satu dengan yang lain, perbedaan itu indah karena perbedaan ini anugerah dari Tuhan yang Maha Esa,” ujar Mardikin.

Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya, Romo Yosef Eko Budi Susilo berpesan agar semua tindakan kekerasan jangan dilawan dengan kekerasan, melainkan dengan cinta kasih. Kehadiran umat lintas agama ini merupakan dukungan dan wujud cinta pada kehidupan dan nilai kemanusiaan.

“Modal kita disini adalah menyemangati kami semua, bahwa kita adalah cinta sesama, cinta Surabaya. Saya bergaul sudah sekian puluh tahun dengan tokoh-tokoh agama, semua tokoh-tokoh agama atau ajaran apapun, selalu mengabarkan, mewartakan kasih. Maka kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, kekerasan harus kita lawan dengan kasih,” terang Romo Eko.

Sementara itu, Ketua Umum Majelis Jemaat GKI Dionegoro, Daniel Theophilus mengatakan, kegiatan peribadatan di GKI Diponegoro akan berjalan seperti biasa pasca serangan bom bunuh diri. Untuk memulihkan ketakutan sebagian jemaat, pihak gereja dibantu relawan psikologi telah melakukan program trauma healing untuk menghilangkan rasa takut.

“Bu Risma meminta kita untuk melakukan kegiatan seperti biasa, jadi mulai Minggu besok ini kegiatan kebaktian kita berjalan di semua jam ibadah,” tandas Daniel.(ptr/red)

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.