Saksi Ahli : HTI Parpol, Ideologinya Islam

Yovie Wicaksono - 16 March 2018
Ahmad Ishomuddin memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia, di PTUN, Jakarta (foto : Superradio/Nina Suartika)

SR, Jakarta – Ahli Islam Politik, KH Ahmad Ishomuddin menyatakan, bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah partai politik yang merupakan bagian dari Hizbut Tahrir, yang juga partai politik bahkan satu-satunya parpol Islam di dunia. Hal ini terungkap dari berbagai buku yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir.

“Saya kutipkan definisi Hizbut Tahrir dari sebuah buku sangat tipis berbahasa Arab, karena bahasa resmi Hizbut Tahrir adalah bahasa Arab. Hizbut Tahrir adalah partai politik, ideologinya adalah Islam, maka politik adalah aktivitasnya sedangkan Islam adalah ideologinya,” kata KH Ahmad Ishomuddin, yang merupakan Rois Syuriah PBNU, saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia, di PTUN, Jakarta, Kamis (15/3/2018).

Berdasarkan buku berjudul Hizb al-Tahrir, Hizbut Tahrir selalu beraktivitas diantara umat dan bersamanya menjadikan Islam sebagai petunjuk baginya, dan akan menjadi penuntunnya untuk mengembalikan al-khilafah dan memutus dengan apa yang diturunkan Allah. Dan Hizbut Tahrir adalah perhimpunan (organisasi) yang bersifat politik, bukan organisasi kerohanian, bukan organisasi ilmiah, bukan organisasi pendidikan, dan bukan pula organisasi sosial.

“Maka aktivitas Hizbut Tahrir semuanya adalah aktivitas politik, baik aktivitas itu di luar hukum atau di dalam hukum. Aktivitasnya bukan bersifat pendidikan sehingga ia bukanlah madrasah, aktivitasnya bukanlah memberikan petuah dan bimbingan, namun aktivitasnya bersifat politik yang di dalamnya diberi gagasan-gagasan Islam dan hukum-hukumnya agar diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata dan negara (daulah islamiyah),” kata Ishomuddin.

Ia mengatakan, organisasi Hizbut Tahrir juga menentang paham demokrasi, karena peraturan perundang-undangan dalam demokrasi dibuat dan dirumuskan oleh manusia. Menurut Hizbut Tahrir, dalam negara daulah islamiyah tidak boleh ada paham selain bersumber dari akidah Islam.

“Negara tidak diperkenankan mengadopsi paham demokrasi karena tidak bersumber dari sumber akidah Islamiyah, dan paham demokrasi dianggap kafir karena pokok penyusunan perundang-undangan dalam demokrasi disusun oleh manusia, bukan oleh Allah,” kata Ishomuddin.

Menurutnya, penolakan HTI secara mutlak terhadap demokrasi tidak sejalan dengan ajaran Islam. Dikatakan, ada banyak nilai-nilai atau substansi demokrasi yang sejalan dan bahkan terdapat dalam ajaran agama Islam, seperti demokrasi untuk melawan kesewenang-wenangan para tiran, yang jelas tidak bisa disebut sebagai kemungkaran apalagi kekafiran.

Contoh lainnya bahwa Islam sepakat dengan demokrasi terkait pemilihan pemimpin. Dalil terkuat untuk memilih pemimpin adalah bahwa Islam mengingkari seseorang yang menjadi imam shalat atas para makmum yang membencinya.

“Tidaklah niscaya bahwa penerimaan demokrasi bermakna mengganti hukum Allah, karena tidak ada kontradiksi diantara keduanya. Demokrasi yang perlu dibangun dan berlaku diantara negara-negara Muslim ialah yang sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam hal politik, seperti kewajiban memilih pemimpin, pengakuan atas musyawarah untuk mufakat, nasehat, perintah untuk membuat kebajikan, melawan kezaliman, dan sebagainya,” ujar Ishomuddin.

Ia mengatakan, mengupayakan terbentuknya sistem negara khilafah meski dibungkus oleh kegiatan dakwah layaknya yang dilakukan HTI, merupakan bentuk pengkhianatan nyata bagi konsensus nasional. Hal tersebut hanya dapat dicegah dengan membubarkan HTI terlebih dahulu.

Sementara itu, Ahli Hukum Administrasi Negara, Prof Philipus M. Hadjon mengatakan, pemerintah dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan jika bertentangan dengan Pancasila, karena Pancasila merupakan dasar negara.

“Tidak ada yang boleh bertindak berlawanan Pancasila,” tegas Philipus.

Menurut Philipus, bila dikaitkan dengan tindakan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, yang menerbitkan suatu keputusan tentang izin pendirian suatu perkumpulan, maka Menteri Hukum dan HAM berwenang untuk mencabut kembali keputusan tersebut, baik dalam rangka koreksi maupun penerapan sanksi administratif yang dapat bermacam-macam bentuknya.

“Bisa berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar, atau pencabutan badan hukum,” tandas Philipus.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yakni berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang telah disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017.(ns/red)

Tags: , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.