Puti Guntur Ingatkan Gen-Z  Jadi Inovator Masa Depan, Bukan Didikte AI

Rudy Hartono - 1 December 2025
Anggota Komisi X DPR RI Puti Guntur Soekarno (kiri) saat menjadi pembicara di Talkshow "Pemanfaatan AI untuk Transformasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi" di Hall 2 Stiesia Surabaya, Minggu (30/11/2025). (foto: hamidiah kurnia/superradio.id)

SR, Surabaya – Anggota Komisi X DPR RI Puti Guntur Soekarno mewanti-wanti generasi muda untuk tak terbuai dan bergantung pada artificial intelegent (AI). Ia tak memungkiri kehadiran AI dan kecanggihan teknologi sangat membantu aktivitas. Namun jika diteliti, ketergantungan pada teknologi justru membuat bangsa ini jauh dari cita-cita Trisakti Bung Karno. Menjadi tak berdaulat.

“Kita harus menjadi insan yang mengatur, membuat, memperkuat kita dalam research, teknologi, pelayanan publik, membantu UMKM,” kata Puti saat menjadi pembicara di Talkshow “Pemanfaatan AI untuk Transformasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi” di Hall 2 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya, Minggu (30/11/2025).

Laporan Digital 2025 Global Overview mencatat sebanyak 98,7 persen penduduk Indonesia berusia 16 tahun keatas menggunakan ponsel untuk online, melampaui Filipina dan Afrika Selatan yang mencatat 98,5 persen.

Sayangnya, tingginya prosentase itu tak dibarengi dengan pengembangan potensi. Akhirnya Indonesia hanya menjadi konsumen ekonomi digital tertinggi yang keamanan datanya rawan dicuri, dijajah teknologi, dan masuk ke era kolonialisme baru dan imperialisme 5.0.

“Kita jadi negara yang memiliki ekonomi digital terbesar dan kita negara konsumen, kita yang digunakan. Ini harus menjadi hal yang bisa memperkuat keyakinan adik-adik bahwa persoalan itu ada di negara kita, kita hanya jadi pasar dan bukan pemain,” ujar cucu proklamator Bung Karno itu.

Anggota Komisi X DPR RI Puti Guntur Soekarno bersama civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) usai Talkshow “Pemanfaatan AI untuk Transformasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi”, Minggu (30/11/2025). (foto: hamidiah kurnia/superradio.id)

Politikus PDI Perjuangan itu mengingatkan bahwa AI dan digital teknologi hanya berfungsi sebagai supporting. Teknologi itu dibuat tanpa ada identitas budaya dan kearifan lokal, seluruhnya digantikan dengan perspektif asing. Jika digunakan berlebihan, pemikiran kritis akan tergerus, kemampuan analisa menjadi tumpul. “Banyak data yang bisa tersedot, data penting yang bisa mereka ambil dengan mudah,” tuturnya.

“Di Jepang 80 persen metode belajarnya masih mencari kevalidan data di perpustakaan. Jadi bagaimana kita bisa tetap menggunakan teknologi secara bijaksana. Ini budaya yang harus kita ciptakan sendiri, oleh kita dan negara hadir untuk mendampingi,” imbuhnya.

Jika ingin masa Indonesia emas 2045 tercapai, maka perlu perubahan pola. Tidak bergantung melainkan menguasai perkembangan digital teknologi. Dibarengi pendampingan pemerintah dalam segala aspek. Pengamanan data, menahan arus teknologi agar tidak menjadikan anak muda jadi generasi yang tidak berbudaya, tidak bermoral dan beretika.

“Peran pemerintah lewat kebijakan, tinggal berani atau tidak menegakkan hukum yang memproteksi, termasuk data kita. Agar kita bisa berdaulat dengan teknologi kita.

Bagaiaman negara tidak takut pada industri besar yang menggunakan indonesia sebagai konsumen semata,” jelasnya.

“Kita ingin Indonesia suatu negara yang kuat, menjadi panutan negara lain, kita ingin adik adik menjadi inovator pencipta teknologi untuk kemajuan indonesia. Ini tugas adik adik kedepan. Mewujudkan berkedaulatan politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribdanian secara budaya,” ungkapnya.

Ketua Stiesia Surabaya Prof. Dr. Nur Fadjrih Asyik, S.E, MSI., Ak, CA. Minggu (30/11/2025). (foto: hamidiah kurnia/superradio.id)

Hal senada disampaikan Ketua Stiesia Surabaya, Prof. Dr. Nur Fadjrih Asyik, S.E, MSI., Ak, CA. Sebagai insan pendidikan, ia mengerti bahwa pihaknya harus mencetak lulusan yang unggul sesuai kebutuhan industri mendatang.

Untuk itu kurikulum terkait AI tetap diberikan. Namun dibarengi dengan proses pembelajaran yang mengasah critical thinking, hingga analisa mendalam.

“Pedoman penggunaan AI ini kami tidak tutup mata. Salah satu program kami, kami rekrut sekitar 10 orang dosen berbasis IT untuk menguatkan pedoman Kemendiktisaintek. Memanfaatkan AI untuk menunjuang bukan menggantikan,” terangnya.

“AI memang efisien, dapat mendukung saat mengambil keputusan, supporting tools tapi perlu diingat AI bukan pengganti otak manusia,” imbuhnya.

Sementara itu mahasiswa S1 akuntansi, Eko Siswanto turut membagikan pengalamannya. Menurutnya acara tersebut telah mengubah mindsetnya pada AI. “Rasa bangga karena bisa bertemu langsung dengan bu Puti banyak pengetahuan yang kita dapat, tentunya ini mengubah mindset pada AI jadi saya tidak hanya jadi konsumen tapi sebagi penunjang,” tandasnya. (hk/red)

 

Tags: , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.