Perempuan Dengan HIV, Beban Sunyi yang Tak Terlihat.

Rudy Hartono - 1 December 2025

SR,Surabaya – Di balik hingar-bingar isu-isu sosial politik yang beredar di tengah masyarakat, ada kisah yang jarang terdengar; kisah tentang perempuan yang hidup dengan human immunodeficiency virus (HIV). Mereka bukan hanya berjuang melawan virus, tetapi juga melawan stigma, diskriminasi dan ketidakadilan.

Sejak lama, perempuan Indonesia ditempatkan dalam peran tradisional; sebagai istri, sebagai ibu, sebagai penjaga rumah tangga. Namun di balik peran itu, ada rentetan kerentanan yang membuat mereka lebih mudah terinfeksi HIV.

Perempuan musti bersuara di tengah kesunyian pemahaman publik tentang HIV/AIDS. Satu di antaranya sebut saja Silvi, warga kawasan Surabaya Barat, yang adalah perempuan penyintas HIV/AIDS.

Mantan model, Silvi, ODHIV (foto: istimewa)

Perempuan berusia 45 tahun ini menjadi orang dengan HIV (ODHIV) sejak usianya masih belia di tahun 1999. Silvi, mantan foto model agensi kenamaan di Surabaya di era tahun 90-an itu memaparkan cerita awalnya dia tertular HIV akibat mengikuti gaya hidup yang rentan, yaitu berbagi jarum suntik dalam penyalahggunaan narkotika.

“Saya sempat on-off on-off (memakai narkoba). Saya benar-benar berhenti di tahun 2008 dan mulai mengkonsumsi ARV (Antiretroviral; obat infeksi HIV/AIDS) pada 2011. Saya konsumsi ARV selama enam bulan kena efek samping, HB (hemoglobin) saya sempat drop sampai pingsan. Akhirnya obat ARV saya diganti, sampai sekarang alhamdullilah nggak ada efek samping sama sekali.” ujar Silvi yang juga aktivis LSM Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

Menyadari bahwa status ODHIV yang disandangnya dipandang negatif, Silvi pun berjuang keras untuk membalikkan pola pikir orang banyak bahwa ODHIV bisa menjalani hidup dengan penuh makna. Optimisme itu tumbuh diawali melalui pergulatan dalam dirinya sendiri.

“Sebenarnya itu kembali ke diri kita sendiri. Selama kita bisa memposisikan diri bahwa kita adalah orang yang terinfeksi HIV tapi bisa berdaya dan tidak seperti yang dikatakan orang yang hanya tahu sepotong-sepotong, bahwa ODHIV itu kurus kering menunggu mati dan tidak punya masa depan,” tandasnya.

“Menjaga pola hidup sehat walau dengan budget yang nggak perlu mahal, kita bisa kok. Asalkan selama konsumsi ARV kita tepat waktu dan tepat dosis di sepanjang kita hidup,” tambah Silvi.

Tidak hanya soal bagaimana menjaga pola hidup sehat. Silvi membeberkan, ODHIV juga harus sehat psikososialnya.

“Kondisi akan lebih parah apabila terus menerima stigma (buruk), tidak didukung keluarga atau bahkan tetangga. Kita tidak menyalahkan orang yang awam ya, tapi kalau selalu didiskriminasi itu akan berdampak pada kesehatan kita pastinya,” ucap dia.

Harini, relawan pendamping ODHIV dari Yayasan Orbit Surabaya. (foto: Istimewa)

Dukungan Keluarga dan Kesadaran Masyarakat adalah Kunci

Data UNAIDS 2024 mencatat, dari sekitar 540 ribu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia, sepertiganya adalah perempuan. Sekitar 180 hingga 195 ribu orang.

Tahun 2025, jumlah itu diproyeksikan meningkat menjadi 190 hingga 205 ribu perempuan, yang termasuk di dalamnya adalah ibu rumah tangga.

Sebagai salah satu pengurus IPPI Jawa Timur sejak 14 tahun terakhir, Silvi mencoba turut menyalakan api solidaritas kepada para koleganya. Dia ikut bergiat mengkampanyekan dan menjalankan program yang berlabel “Emak-emak Club”. Tujuannya agar perempuan penyintas yang didampingi, tetap bisa memfungsikan diri sebagai ibu yang bisa melahirkan tapi dengan kondisi anak yang negatif HIV.

Namun kesadaran terkait pengetahuan pencegahan dan penanganan HIV/AIDS, dikatakan Silvi, tidak boleh dibebankan hanya kepada perempuan dan kaum ibu saja. Para lelaki lebih-lebih yang sudah berstatus suami wajib pula diberdayakan agar turut bertanggung jawab mencegah penularan HIV/AIDS dengan tidak melakukan perilaku yang berrisiko.

“Di Indonesia budaya patriarkinya masih kental sekali. Di rumah, para laki-laki adalah suami kita. Tapi kalau sudah di luar (rumah) kita kan nggak tahu. Gimana caranya kita bersama-sama meminimalisir penularan apapun. Memastikan suami baik-baik saja, tentu dengan komunikasi yang hangat dan intens tentang penularan HIV dan bahayanya,” tutur Silvi.

Kesadaran pemahaman individu dan masyarakat adalah hal yang utama dan terpenting, di samping adanya komitmen serius dari pemerintah. Para pendamping ODHIV dari berbagai LSM terus bekerja di garis depan, menjadi bagian dari upaya global menekan angka kasus HIV/AIDS.

Harini, seorang relawan pendamping ODHIV dari Yayasan Orbit Surabaya, menegaskan satu hal; semua upaya akan sia-sia jika masyarakat sendiri tidak mau mengubah perilaku yang berrisiko, serta selalu menstigma negatif dan bersikap diskriminatif terhadap pengidap HIV/AIDS.

“Kita semua anggota masyarakat harus menjaga perilaku kita masing-masing. Kalau pemerintah sudah berusaha mencegahnya tapi masyarakatnya nggak mau, terus gimana? Pemerintah sudah meminta oh harus begini harus begini, tapi kalau kitanya masih nyimpang gimana bisa menghambat (penyebaran HIV) itu? Kita (dari LSM) sudah melakukan banyak pendampingan, ketika si pasiennya tidak menyadari status positif tertularnya, kita bisa apa?” ungkap Harini ketika ditemui Superradio di kantor Yayasan Orbit.

Kendala seperti itu kerap dijumpai Harini, karena banyak dari penyintas HIV/AIDS yang masih merasa malu dan takut dengan status sakitnya. Termasuk mendapatkan berbagai halangan dari pihak keluarga penyintas.

“Saya kadang dimarah-marahi sama pihak keluarga terkait perawatan pasien HIV di rumah sakit. Padahal bagaimana pun mereka secara tidak langsung membutuhkan dampingan kita. Harus ekstra sabar memang menjadi relawan ini,” ujarnya.

Ketua Yayasan Embun, Joris Lato (foto: istimewa)

Catatan untuk Pemangku Kebijakan

Di awal 2025, Kementerian Kesehatan RI mencatat lebih dari 15 ribu kasus baru HIV/AIDS di Indonesia. Jawa Timur menjadi salah satu daerah dengan angka tertinggi sebanyak 2.599 kasus, tertinggi nasional.

Surabaya, kota terbesar di Jawa Timur, mencatat 872 kasus HIV/AIDS sepanjang Januari hingga September 2025. Sebagian besar berada pada usia produktif, antara umur 19 hingga 50 tahun.

Data ini mendapat sorotan dari LSM yang konsern dengan isu perempuan dan anak yakni Yayasan Embun Surabaya. Ketua Yayasan Embun, Joris Lato, menyebut situasi ini sebagai fenomena gunung es.

“Kenapa seperti itu? Karena konsep tes (HIV) di Indonesia bukan mandatory (keharusan atau wajib) kita lebih pada kerelaan. Kecuali tes pada ibu hamil, karena berkaitan dengan persiapan melahirkan. Kalau di luar (ibu hamil) kan enggak. Misalnya, saya laki-laki atau seorang suami yang bisa saja tertular HIV, kalau saya (pelaku) seksual aktif. Bisa menularkan ke istri, dan istri ketika hamil berpotensi menularkannya juga ke anak. Kasus penularannya mirip sistem sel,” tukas Joris.

Joris juga menjelaskan perlunya revisi peraturan daerah (perda). Selain itu, dia juga mengkritisi ketiadaan shelter khusus bagi ODHIV di Jawa Timur sebuah fasilitas yang dianggapnya sangat mendesak.

“Kalau Jawa Timur nomor satu kasus HIV/AIDS-nya kita mau bilang apa? Karena kita memang lemah kok untuk pencegahannya juga di pengobatannya. Kita tidak punya shelter. Kalau misalnya ada yang kena, kita serahkan ke provinsi lain,” tandasnya.

“Khusus tentang perda. Perda HIV-nya Jawa Timur udah lama. Perlu adanya perubahan-perubahan, up to date. Contohnya kalau dulu (perda) kita ngomong tentang lokalisasi, sekarang kita atur bagaimana terhadap orang-orang yang berpraktik (prostitusi) di aplikasi-aplikasi online,” pungkas Joris. (giy/red)

 

Tags: , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.