Mewujudkan Keluarga Impian

Yovie Wicaksono - 16 May 2022
Ilustrasi. Foto : (shutterstock/Nattakorn_Maneerat)

SR, Surabaya – Data Pengadilan Agama (PA) Surabaya selama 2021, menyebut ada 6.219 laporan tentang kasus perceraian yang terdiri dari 1.829 cerai talak atau perceraian yang diajukan dari pihak suami (pria) dan 4.390 cerai gugat atau perceraian yang diajukan dari pihak istri (perempuan).

Dari laporan tersebut, 1.651 cerai talak dan 4.062 cerai gugat telah diputus oleh PA Surabaya.

Ada beragam alasan yang melatarbelakangi terjadinya perceraian tersebut, mulai dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), judi, hingga poligami.

Sementara berdasar data Januari hingga April 2022, terdapat 563 cerai talak dan 1.342 cerai gugat yang dilaporkan dan sebanyak 542 cerai talak dan 1.364 cerai gugat yang diputus.

Tingginya angka perceraian ini, bisa menjadi gambaran bagi pasangan muda yang menikah atau juga mereka yang akan melangsungkan pernikahan.

Perceraian tentu sebisa mungkin dihindari, karena dalam setiap pernikahan selalu ada impian yang harus diwujudkan bersama.


Lantas apa itu keluarga impian?

Survei acak Super Radio pada Kamis (12/5/2022) hingga Minggu (15/5/2022) dengan melibatkan sekira 30 orang usia 20-40 tahun menyatakan, “keluarga impian” versi mereka diantaranya adalah adanya kerjasama yang baik pada setiap anggota keluarga, saling mendukung, menyayangi, mencintai, menghargai, harmonis, bahagia lahir dan batin, memiliki komunikasi yang baik hingga keuangan yang stabil.

Keluarga impian seperti yang disampaikan responden ini, sejalan dengan Psikolog Dosen Bidang Minat Perkembangan, Eli Prasetyo.

Ia mengatakan, definisi keluarga impian atau harmonis adalah ketika seluruh anggotanya merasa bahagia dan sejahtera.

Sejahtera, berarti tiap anggota keluarga mau saling mendengarkan, dan faham akan tugas masing-masing.

“Jadi kesejahteraan anggotanya itu baik suami, istri maupun anak terpenuhi,” ucapnya.

Oleh karena itu pasangan perlu memperhatikan komitmen yang dibuat sebelum pernikahan. Tiap orang harus betul-betul mengetahui kemampuan pasangannya dalam menyelesaikan masalah.

“Harus ada refleksi diri, kesiapan menerima segala keburukan pasangan. Karena tipe orang macam-macam, ada yang sukanya lari dari masalah,” ujarnya.

Setelah itu, perlu membuat kesepakatan atas beberapa hal. Utamanya terkait rumah tinggal, cara mengelola keuangan, kebutuhan seksual, hingga pembagian tanggung jawab.

“Setiap pasangan akan datang dari keluarga yang berbeda-beda. Jadi menurut saya, kesepakatan yang dibangun antara mereka berdua itulah yang bisa membuat mereka nyaman,” ungkapnya.

Meski sering dianggap tabu, namun ini penting untuk dilakukan. Karena pernikahan bukan hanya menyatukan dua orang, melainkan dua keluarga yang bisa jadi sangat berbeda.

“Jadi di persiapan pernikahan itu harus cek dokter karena kemungkinan itu juga tidak tahu. Keterbukaan tentang kebutuhan seksual itu juga penting,” ucapnya.

Ketika semua sudah dijalankan, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan mental. Eli menjelaskan, kehidupan pernikahan punya 4 tahapan.

Pertama, fase bulan madu. Di fase ini pasangan suami istri merasakan indahnya awal pernikahan, segalanya masih tentang pasangan.

Lalu, beranjak ke fase pemantapan fondasi. Disini akan terlihat kekurangan hingga kebiasaan buruk pasangan, sehingga perlu keterbukaan dan menyamakan tujuan.

Kemudian, memasuki fase parenting. Masa ini merupakan masa genting karena mulai dihadapkan dengan tanggung jawab mengurus anak dan membagi peran.

“Biasanya yang genting itu ketika mereka memasuki masa parenting, karena fokusnya bukan lagi pada pasangan tapi pada pengasuhan anak,” ungkapnya.

Dan terakhir, fase kembali berdua. Kondisi ini terjadi ketika anak-anak sudah dewasa sehingga tanggung jawab sebagai orang tua telah selesai.

“Karena tanggung jawab mereka sebagai orang tua itu sudah selesai, jadi ada yang begitu anak sudah dewasa mereka memutuskan untuk bercerai itu juga tinggi,” tuturnya.

Apa yang dijelaskan Eli, juga ditemukan dari 30 responden Super Radio. Terdapat 13 orang yang sudah menikah dan tiga diantaranya mengaku sudah mewujudkan keluarga impian versi mereka.

Namun, enam orang lain mengaku keluarga impian tersebut hampir terwujud dan empat orang lainnya mengaku keluarga impian tersebut belum terwujud.

Adapun faktor yang menyebabkan belum terwujudnya keluarga impian versi mereka adalah lantaran komunikasi yang masih belum baik, sehingga masih sering terjadi kesalahpahaman antar anggota keluarga atau adanya dominasi pasangan, lalu keuangan yang belum stabil hingga adanya perbedaan prinsip.

 


Dampak keluarga yang tidak harmonis

Keluarga yang tidak harmonis tentu berdampak kepada psikologis anak. Anak yang sering menyaksikan orang tuanya berdebat atau bertengkar akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah stres dan kurang bahagia. Ia pun cenderung akan lebih tertutup kepada orang lain, lebih pendiam dan antisosial.

Apabila ketidak harmonisan tersebut terjadi hingga adanya kekerasan fisik dalam keluarga, tentu dapat membuat anak bersikap agresif dan kasar lantaran sudah menjadi sifat alami anak untuk meniru apa yang dilakukan orang tuanya.

Dampak lainnya adalah tidak adanya figur dewasa yang bisa dijadikan teladan oleh sang anak. Ia pun akan berpikir bahwa tidak ada orang dewasa yang bisa dipercaya dan dicontoh, sehingga kehilangan motivasi dan semangatnya. Tak heran jika ia menjadi anak yang pasif dan tidak percaya diri.

Hilangnya motivasi dan semangat mengakibatkan pendidikan anak menjadi terganggu. Bahkan penelitian yang dilakukan The University of Sussex mengemukakan bahwa anak yang melihat kedua orang tuanya bertengkar berisiko memiliki masalah mental ketika ia beranjak dewasa.

Lalu pada keluarga yang tidak harmonis dan berujung perceraian, anak memiliki risiko tinggi untuk lebih cepat mengakhiri hidup. (hk/fos/red)

Tags: , , , , , ,

Berita Terkait

Tinggalkan komentar

Silahkan masuk atau daftar terlebih dahulu untuk memberi komentar.